Sirah Nabawiyah 21 January 2025

Ketika Malam Pertama Menikah Harus Ditinggal Demi Jihad - Kisah Handalah yang Bikin Merinding

Ketika Malam Pertama Menikah Harus Ditinggal Demi Jihad - Kisah Handalah yang Bikin Merinding
Bagikan:

Bayangin deh, kamu baru aja menikah semalam. Malam pertama yang sudah kamu tunggu-tunggu. Dunia rasanya milik berdua. Tapi tiba-tiba, di pagi hari masih belum sempat mandi junub, terdengar seruan: “Jihad! Jihad!”

Apa yang akan kamu lakukan? Kebanyakan dari kita mungkin akan bilang, “Sebentar deh, ini kan malam pertama…”

Tapi tidak dengan Handalah radhiallahu anhu.

Ketika Cinta Dunia Kalah dengan Cinta Allah

Handalah menikah di malam Jumat. Perang Uhud terjadi di Sabtu pagi. Hitungannya? Belum genap 12 jam dia menjadi suami.

Waktu itu, tahun ketiga Hijriah, pasukan Quraisy dengan 3.000 personil sudah mengepung Madinah. Mereka datang dengan dendam. Kekalahan di Badr masih membekas. Citra mereka di depan suku-suku Arab hancur lebur. Abu Sufyan yang memimpin ekspedisi ini punya misi: kalahkan Muhammad dan pengikutnya, atau ekonomi Makkah akan benar-benar runtuh.

Nabi sallallahu alaihi wasallam yang mendengar kabar ini segera mengumpulkan para sahabat. Diskusi panjang terjadi. Haruskah mereka bertahan di Madinah atau keluar menghadapi musuh?

“Ya Rasulullah, kita keluar saja! Seperti di Badr dulu,” seru Hamzah radhiallahu anhu dengan semangat menggebu.

Mayoritas sahabat setuju. Mereka sudah merasakan manisnya kemenangan di Badr. Jumlah sedikit, tapi Allah memberikan pertolongan yang luar biasa.

Sebenarnya, Nabi sallallahu alaihi wasallam lebih condong untuk bertahan di Madinah. Beliau bahkan sudah menceritakan mimpinya: seekor sapi disembelih, pedangnya retak, dan beliau masuk ke dalam baju perang yang kokoh.

“Aku menakwilkan sapi yang disembelih adalah sahabat-sahabatku yang akan terbunuh. Retaknya pedang adalah salah satu kerabatku yang akan gugur. Dan baju perang yang kokoh adalah kota Madinah,” jelas beliau.

Tapi para sahabat terus memohon. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan jihad seperti yang terjadi di Badr. Akhirnya, Nabi sallallahu alaihi wasallam pun setuju.

Malam yang Tak Terlupakan

Handalah radhiallahu anhu, di tengah persiapan perang yang mencekam ini, justru melangsungkan pernikahan. Mungkin dia berpikir, kalau memang Allah takdirkan dia syahid besok, setidaknya dia sudah menikah dulu.

Malam Jumat itu, dia menikah dengan wanita yang dicintainya. Mereka berdua bahagia. Dunia seolah milik mereka. Handalah ikut salat Subuh berjamaah dengan Nabi sallallahu alaihi wasallam. Setelah itu, dia pulang ke rumah untuk berkumpul dengan istri barunya.

Kebayang nggak sih, bagaimana perasaan sepasang pengantin baru itu? Handalah yang sudah bertahun-tahun menunggu saat ini. Istrinya yang mungkin masih malu-malu tapi bahagia. Mereka berdua sedang menikmati momen terindah dalam hidup mereka.

Handalah baru saja selesai bergaul dengan istrinya. Dia masih dalam keadaan junub, belum sempat mandi. Barangkali dia sedang berbisik-bisik mesra dengan sang istri, merencanakan masa depan mereka, atau sekadar menikmati kebersamaan yang baru mereka rasakan.

Tiba-tiba…

“Jihad! Jihad!”

Seruan itu mengguncar udara pagi Madinah. Suara utusan Nabi sallallahu alaihi wasallam memecah keheningan. Panggilan yang tidak bisa ditolak oleh laki-laki muslim manapun.

Pilihan yang Menentukan Surga

Coba kamu bayangkan posisi Handalah saat itu. Dia baru menikah semalam. Istrinya masih ada di sampingnya. Tubuhnya masih hangat dari sentuhan cinta. Dia belum mandi, masih dalam keadaan junub.

Dalam hati mungkin ada bisikan: “Sebentar lah, mandi dulu dong. Ini kan malam pertama. Paling tidak pamit dulu sama istri.”

Tapi tidak dengan Handalah.

Tanpa ragu, tanpa pikir panjang, dia bangkit. Langsung keluar rumah dalam kondisi masih junub. Bergabung dengan pasukan muslimin yang sedang berkumpul.

Istrinya mungkin bengong. Baru semalam jadi istri, sudah ditinggal suami untuk perang. Tapi dia tahu, ini bukan pilihan suami yang tidak mencintainya. Ini pilihan seorang muslim yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada apapun di dunia.

Di Medan Pertempuran Uhud

Pasukan muslimin berjumlah 700 orang setelah Abdullah bin Ubay bin Salul membelot dengan 300 pengikutnya. Mereka menghadapi 3.000 pasukan Quraisy yang haus balas dendam.

Nabi sallallahu alaihi wasallam mengatur strategi dengan cermat. 50 pemanah ditempatkan di Bukit Pemanah dengan instruksi tegas: “Jangan tinggalkan bukit ini sampai ada instruksi dariku. Walaupun kalian lihat kami menang atau kalah!”

Di antara pasukan muslimin itu, ada Handalah yang masih bersemangat. Mungkin dalam hatinya dia berdoa, “Ya Allah, kalau memang ini jalan terakhir hidupku, jadikanlah aku mati syahid.”

Pertempuran dimulai dengan dahsyat. Abu Dujanah dengan pedang Nabi sallallahu alaihi wasallam menebas musuh sana-sini. Para sahabat bertarung dengan gagah berani. Awalnya, muslimin hampir menang.

Tapi kemudian terjadi kesalahan fatal. Para pemanah di bukit melihat muslimin seperti menang, mereka turun untuk mengumpulkan ghanimah. Khalid bin Walid yang masih kafir saat itu langsung menyerang dari belakang.

Keadaan berbalik. Muslimin terpukul mundur. Banyak yang gugur sebagai syuhada.

Handalah radhiallahu anhu adalah salah satu di antara mereka.

Ketika Malaikat Turun Memandikan

Setelah pertempuran usai, Nabi sallallahu alaihi wasallam berkeliling melihat para syuhada. Ketika beliau sampai di dekat jenazah Handalah, sesuatu yang menakjubkan terjadi.

Nabi sallallahu alaihi wasallam tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Para sahabat yang melihat ini penasaran.

“Ya Rasulullah, ada apa dengan Handalah? Kenapa Anda alihkan pandangan?”

Ada dua riwayat tentang jawaban Nabi sallallahu alaihi wasallam. Yang pertama: “Aku melihat istrinya dari kalangan bidadari menjemputnya.”

Yang kedua: “Aku melihat para malaikat memandikannya, karena dia dalam keadaan junub.”

Subhanallah! Handalah yang tidak sempat mandi karena langsung lari ke medan jihad, dimandikan langsung oleh para malaikat. Dia kemudian dikenal dengan julukan “Ghasilul Malaikah” - orang yang dimandikan oleh malaikat.

Pelajaran yang Mengguncang Hati

Kisah Handalah ini bukan sekadar cerita sejarah yang indah untuk dikenang. Ini adalah tamparan keras bagi kita yang sering menunda-nunda panggilan Allah dengan berbagai alasan.

Bayangin, kalau panggilan untuk salat Subuh saja kita sering abaikan karena masih ngantuk, masih hangat di selimut. Apalagi panggilan untuk hal-hal yang lebih berat seperti berdakwah, belajar agama, atau meninggalkan kemaksiatan.

Handalah mengajarkan kita bahwa tidak ada yang lebih penting dari panggilan Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada istri, kenikmatan dunia, kenyamanan hidup - semuanya harus rela dikorbankan ketika Allah memanggil.

Itu bukan berarti kita tidak boleh mencintai keluarga atau menikmati hidup. Tapi ketika ada konflik antara keinginan dunia dengan perintah Allah, pilihan sudah jelas.

Kebenaran yang Tak Terbantahkan

Yang bikin merinding dari kisah ini adalah bagaimana Allah langsung memberikan balasan. Handalah baru beberapa jam menjadi suami, tapi ketika dia memilih Allah, Allah berikan dia yang lebih baik: surga dan bidadari yang datang menjemputnya.

Ini bukan dongeng. Ini bukan cerita karangan. Ini benar-benar terjadi dan disaksikan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam sendiri.

Kira-kira, seandainya Handalah waktu itu bilang, “Ya Allah, sebentar deh, ini kan malam pertama. Biar aku mandi dulu, pamit sama istri dulu, siapa tahu besok masih ada perang lagi,” apakah dia akan mendapat gelar “Ghasilul Malaikah”?

Tentu tidak.

Keistimewaan itu dia dapatkan justru karena dia meninggalkan semua kenikmatan dunia tanpa pikir panjang ketika Allah memanggil.

Refleksi untuk Kita Hari Ini

Sekarang coba kita renungkan. Berapa kali kita menunda salat karena sedang nonton film seru? Berapa kali kita skip pengajian karena ada acara yang “lebih penting”? Berapa kali kita tunda belajar Al-Qur’an karena masih ada deadline kerja?

Padahal yang kita korbankan bukan malam pertama pernikahan. Cuma kenyamanan sebentar, hiburan sesaat, atau urusan dunia yang sebetulnya bisa ditunda.

Tapi Handalah? Dia korbankan malam pertama pernikahan yang sudah ditunggu bertahun-tahun. Dia korbankan istri yang baru beberapa jam menjadi pendamping hidupnya. Dia korbankan kenyamanan rumah tangga yang baru saja dimulai.

Dan Allah? Allah berikan dia surga yang kenikmatannya tidak pernah ada bandingannya di dunia.

Kisah Handalah mengajarkan kita bahwa setiap janji Allah itu pasti benar. Tidak ada yang merugi ketika memilih Allah. Yang ada hanya keuntungan yang berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat.

Kebayang nggak sih, betapa mulianya seorang yang sampai dimandikan langsung oleh malaikat? Betapa istimewanya seseorang yang dijemput bidadari dari surga?Semua itu didapat Handalah bukan karena dia hebat atau sempurna. Tapi karena dia punya keimanan yang kuat dan tidak ragu sedikitpun ketika Allah memanggil.

Dan yang paling menakjub: dia cuma butuh beberapa jam untuk membuktikan kualitas imannya. Dari malam Jumat sampai Sabtu pagi. Cuma semalam. Tapi cukup untuk mengantarkannya ke surga.

Jadi, kapan kita akan mulai seperti Handalah?

Terkait

Lihat Semua