Kamu pernah membayangkan seperti apa rasanya menunggu waktu berbuka puasa, sementara perut sudah keroncongan sejak siang? Sekarang, bayangkan jika waktu berbuka itu tak kunjung datang, bukan karena menahan diri, melainkan karena memang tak ada makanan sama sekali. Inilah kenyataan getir yang dihadapi ribuan anak di Gaza Utara hari ini—sebuah tragedi kemanusiaan yang, sayangnya, seringkali hanya menjadi angka di layar berita.
Menyusuri Gaza: Antara Harapan dan Kenyataan
Di balik reruntuhan bangunan dan debu yang beterbangan, ada suara-suara kecil yang tetap berusaha tertawa. Anak-anak Gaza, dengan mata bening dan tubuh yang semakin kurus, masih mencoba bermain di sela-sela antrean bantuan makanan. Suasana di sana bukan sekadar sunyi, melainkan sunyi yang penuh harap—seolah setiap detik adalah doa agar esok lebih baik.
Bayangkan seorang anak bernama Amina, usia delapan tahun, yang setiap pagi terbangun bukan dengan semangat pergi ke sekolah, melainkan dengan pertanyaan sederhana: “Hari ini kita makan apa, Bu?” Ibunya, Fatimah, hanya bisa tersenyum tipis, menahan air mata yang hampir tumpah. “Kita berdoa saja, Nak. Allah pasti beri jalan,” jawabnya, berusaha tegar di hadapan putrinya.
Rumah Sakit yang Tak Lagi Ramai
Rumah sakit di Gaza kini lebih mirip ruang tunggu panjang tanpa kepastian. Setiap hari, ratusan pasien datang dengan gejala kelelahan akut, kehilangan daya ingat, hingga tubuh yang nyaris tak bertenaga. Tempat tidur terbatas, obat-obatan menipis, dan tenaga medis pun harus bekerja tanpa makan selama lebih dari 24 jam. Seorang dokter muda, Yusuf, mengaku, “Kadang saya lupa kapan terakhir makan. Tapi melihat anak-anak ini, saya tak tega pulang.”
Kondisi ini diperparah dengan data yang terus bertambah: 86 korban meninggal akibat kelaparan, 76 di antaranya adalah anak-anak. Angka yang, jika kita renungkan, bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata dari wajah-wajah yang pernah bermimpi dan tertawa.
Genosida Lewat Kelaparan: Sebuah Ironi Zaman
“Kami sedang menghadapi genosida yang terorganisir melalui kelaparan,” tegas Direktur Kompleks Medis Al-Shifa. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan jeritan hati yang mewakili ribuan keluarga di Gaza. Bayangkan, sekitar 17.000 anak menderita kekurangan gizi akut—angka yang sulit dicerna logika, namun nyata di depan mata.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mencatat, dari 74.000 pemeriksaan antara Maret hingga Juni, ribuan kasus kekurangan gizi akut ditemukan. Anak-anak di bawah usia lima tahun menjadi kelompok paling rentan. Mereka bukan hanya kehilangan berat badan, tapi juga kehilangan masa depan yang seharusnya penuh warna.
Dialog Batin Seorang Ibu
Fatimah, seperti banyak ibu di Gaza, sering berdialog dengan dirinya sendiri. “Apakah aku sudah cukup berjuang? Apakah doaku didengar?” Setiap malam, ia menatap langit yang sama dengan kita, berharap ada keajaiban turun dari langit. Namun, yang datang justru suara dentuman dan kabar buruk dari luar.
“Kamu tahu, Nak, dulu ibu sering membacakan kisah Nabi Musa yang membelah laut. Ibu percaya, Allah selalu punya cara untuk menolong hamba-Nya. Tapi kadang, ibu juga lelah…” Fatimah menatap Amina yang sudah terlelap, berharap esok ada secercah harapan.
Sistem Kesehatan di Ujung Tanduk
Rumah sakit di Gaza kini lumpuh total. Pasukan pendudukan menghalangi masuknya makanan, obat, dan bahan bakar. Sistem kesehatan nyaris kolaps, dan setiap hari adalah pertarungan antara hidup dan mati. Tenaga medis, seperti Yusuf, hanya bisa berharap ada bantuan yang benar-benar sampai ke tangan mereka.
“Kami sudah kehabisan cara. Kadang, satu botol infus harus dipakai bergantian. Tapi kami tetap berusaha, karena menyerah bukan pilihan,” ujar Yusuf, matanya sembab tapi penuh tekad.
Refleksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kisah Gaza bukan sekadar berita duka. Ia adalah cermin bagi kita—apakah empati kita masih hidup, atau sudah mati bersama rutinitas harian? Mungkin kita tak bisa langsung mengirim makanan ke sana, tapi kita bisa mulai dengan doa, edukasi, dan menyebarkan kesadaran. Setiap langkah kecil, jika dilakukan bersama, bisa menjadi gelombang perubahan.
Kamu, aku, kita semua, punya peran. Bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk tetap menjadi manusia yang peduli. Karena di balik setiap angka, ada wajah, ada cerita, ada harapan yang menunggu untuk didengar.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Semoga kisah ini menggerakkan hati kita untuk terus peduli, berdoa, dan bertindak. Gaza mungkin jauh, tapi nurani kita tak pernah punya jarak.