Oke, siapa di sini yang kalau denger kata “hadis” langsung ngerasa kayak lagi denger kode rahasia? Tenang, bro-sis, lo nggak sendirian. Kadang, hadis itu kayak chat dari mantan: singkat, misterius, dan sering bikin salah paham. Tapi, jangan buru-buru baper dulu. Yuk, kita bongkar bareng-bareng gimana caranya biar nggak salah kaprah pas baca hadis, apalagi sampai jadi tim ekstrem kanan atau kiri. Santai aja, kita ngobrol kayak lagi nongkrong di warung kopi, bukan di ruang sidang!
Jadi gini, pernah nggak lo ngerasa, “Lah, ini hadis maksudnya apa sih? Kok kayaknya beda sama yang gue denger di pengajian sebelah?” Nah, ternyata, memahami hadis itu nggak bisa asal comot terus langsung dipraktekin mentah-mentah. Ada ilmunya, ada triknya, dan—percaya deh—kadang butuh logika plus sedikit humor biar nggak tegang.
Pertama, kita harus paham: bahasa agama itu penuh metafora. Coba deh, inget waktu musim pemilu, istilah kayak “cebong” atau “kampret” itu kan bukan beneran binatang, tapi sindiran buat kelompok tertentu. Nah, di hadis juga gitu. Misal, ada hadis yang bilang, “Yang paling panjang tangannya, dia yang paling duluan nyusul Nabi.” Eh, para istri Nabi langsung pada ngukur tangan, padahal maksudnya yang paling dermawan. Jadi, jangan baperan, pahami dulu konteks dan gaya bahasanya. Kalau nggak, bisa-bisa lo jadi korban salah tafsir kayak netizen salah paham meme.
Kedua, cari tahu alasan di balik perintah hadis. Dalam istilah kerennya, namanya “illat”. Misal, Nabi nyuruh panjangkan jenggot dan cukur kumis biar beda sama kaum musyrik zaman itu. Tapi, kalau sekarang kaum musyrik malah jenggotan semua, masa lo harus cukur jenggot biar beda? Intinya, pahami alasan di balik perintah, jangan cuma liat permukaannya. Kalau nggak, bisa-bisa lo jadi kayak orang yang ngikutin tren tanpa tau asal-usulnya.
Ketiga, perhatiin letak geografis. Hadis itu lahir di Arab, bro! Misal, soal buang hajat, Nabi bilang jangan menghadap kiblat, tapi di Arab kiblatnya ke barat atau timur. Di Indonesia? Kalau lo ngikutin mentah-mentah, bisa-bisa malah ngadep kiblat pas di WC. Jadi, cek dulu peta sebelum praktek, jangan sampe salah arah kayak GPS error.
Keempat, pahami budaya dan zaman. Hadis itu turun di masyarakat Arab, dengan adat dan kebiasaan mereka. Misal, soal pakaian. Nabi pakai gamis karena itu baju sehari-hari di sana, bukan berarti lo harus pakai gamis ke pasar tiap hari. Kalau di Indonesia, ya pakai batik atau sarung juga nggak kalah islami, asal sopan dan nggak nyeleneh. Jangan sampe lo jadi pusat perhatian gara-gara salah kostum, nanti dikira cosplay!
Kelima, skala prioritas ibadah. Kadang, ada dua ibadah yang sama-sama bagus, tapi yang satu lebih bermanfaat buat orang banyak. Misal, haji berkali-kali atau bantu tetangga yang kesusahan? Kiai Ali bilang, yang manfaatnya lebih luas itu yang diutamakan. Jangan sampe lo sibuk ngejar pahala pribadi, tapi lupa sama sekitar. Ibadah itu bukan lomba ego, bro.
Keenam, niat dan semangat di atas teks. Kadang, teks hadis itu penting, tapi semangat di baliknya lebih penting lagi. Contoh, Nabi nyuruh Zaid belajar bahasa Ibrani buat dakwah. Artinya, belajar bahasa asing itu sunnah kalau tujuannya buat kebaikan. Jadi, jangan kaku sama teks, tapi tangkap semangatnya. Kalau nggak, bisa-bisa lo jadi “robot hadis” yang cuma hafal tanpa paham makna.
Nah, dari semua strategi di atas, intinya: pahami hadis itu harus pakai otak, hati, dan—sedikit—humor. Jangan buru-buru nge-judge orang lain cuma karena beda tafsir. Dunia ini udah ribet, jangan ditambah ribet sama perdebatan nggak penting. Santai aja, nikmati proses belajar, dan jangan lupa ngopi!
Akhir kata, semoga lo nggak jadi tim yang gampang ngegas gara-gara salah paham hadis. Ingat, agama itu buat bikin hidup lebih adem, bukan bikin jidat makin berkerut. Kalau masih bingung, tanya aja ke ahlinya, jangan ke grup WA keluarga. Siapa tau, yang lo anggap dalil, ternyata cuma hoaks yang viral. Salam damai, dan jangan lupa senyum. Karena, kadang, senyum itu juga sunnah yang sering dilupain!