Kamu tentu pernah mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri, bagaimana perundungan di sekolah kini bukan lagi sekadar ejekan ringan. Fenomena ini telah berubah menjadi kekerasan fisik, bahkan kriminalitas, yang pelakunya justru anak-anak usia sekolah. Di balik setiap kasus yang viral, ada kisah pilu tentang empati yang runtuh, sistem pendidikan yang gagal, dan masyarakat yang abai.
Mari kita mulai dari sebuah kisah nyata di Bandung, 2023. Seorang siswa SMP menjadi korban penganiayaan oleh teman-teman sekelasnya. Ia dipukul, ditendang, bahkan diancam dengan obeng. Lebih menyayat hati, aksi ini direkam dan disebarkan di media sosial. Dua tahun berselang, kasus yang lebih mengerikan terjadi: seorang anak dipaksa minum tuak, merokok, lalu diceburkan ke sumur oleh teman-temannya. Wajah korban penuh luka, sementara para pelaku tertawa lepas tanpa rasa bersalah.
Dua peristiwa ini hanyalah puncak gunung es. Setiap tahun, kasus perundungan anak semakin marak. Tindakan hukum memang dilakukan—pelaku ditangkap, sanksi dijatuhkan. Namun, apakah sanksi hukum mampu menghentikan kekerasan dari akarnya? Fakta justru menunjukkan sebaliknya. Kasus-kasus ini mencerminkan kegagalan regulasi, lemahnya sistem sanksi, dan problematika definisi “anak” dalam sistem hukum. Lebih dalam, ini menunjukkan sistem pendidikan yang tidak mampu membentuk karakter anak, bahkan membiarkan mereka mengenal dan mengonsumsi hal-hal haram seperti tuak.
Krisis ini adalah buah pahit dari sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini tak mempedulikan nilai akidah dan tak menjadikan syariat sebagai landasan membentuk manusia beradab. Padahal Islam sangat menekankan kehormatan sesama Muslim dan melarang perundungan dalam bentuk apa pun. Rasulullah ﷺ bersabda:
Setiap tindakan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Islam menjadikan baligh sebagai titik awal tanggung jawab hukum, bukan sekadar angka usia yang arbitrer. Nabi ﷺ bersabda:
Artinya, sebelum baligh, anak harus disiapkan secara serius agar kelak menjadi mukallaf yang paham tujuan hidup, peka terhadap halal-haram, serta siap menanggung tanggung jawab moral dan hukum di hadapan Allah ﷻ. Di sinilah pentingnya sistem pendidikan Islam yang menanamkan akidah sebagai fondasi utama pembentukan kepribadian. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi pembentukan pola pikir dan pola sikap Islami.
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya di tangan orang tua, tapi juga masyarakat dan negara. Negara harus menyusun kurikulum, sistem informasi, dan sistem sanksi yang semua berlandaskan syariat. Tak cukup menyusun regulasi atau memperberat hukuman. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma secara menyeluruh. Negara tidak boleh netral terhadap moral. Negara harus hadir sebagai pelindung akidah dan penjaga akhlak rakyatnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali رحمه الله:
Jika kita ingin menghentikan perundungan dari akarnya, solusinya bukan tambal sulam sistem sekuler. Solusi sejati adalah transformasi menuju sistem Islam yang menyatukan pendidikan, moral, dan hukum dalam bingkai syariat. Dengan itulah akan lahir generasi bukan hanya cerdas, tapi juga bertakwa dan berkepribadian Islam yang kokoh.
Jika kamu ingin membaca artikel lain seputar pendidikan dan moralitas, cek juga artikel kami tentang pentingnya kedekatan orang tua dalam mencegah kenakalan remaja.