Bayangkan sejenak, kamu duduk di sebuah ruangan sederhana di Kairo, di mana dinding-dindingnya menyimpan gema sejarah panjang peradaban Islam. Di luar, hiruk-pikuk kota tak pernah benar-benar hening, namun di dalam, suasana terasa syahdu. Di sinilah, di jantung dunia Islam, Al-Azhar asy-Syarif—sebuah institusi yang namanya kerap menjadi rujukan moral dan intelektual umat—mengambil keputusan yang tak mudah: menarik pernyataan publik tentang tragedi Gaza.
Keputusan ini, tentu saja, bukan sekadar soal unggahan yang dihapus. Ada lapisan-lapisan makna, pertimbangan, dan bahkan kegelisahan yang menyertainya. Mari kita telusuri bersama, pelan-pelan, mengapa langkah ini diambil, dan apa maknanya bagi kita yang menyaksikan dari kejauhan, namun tetap merasa dekat secara batin.
Pada mulanya, pernyataan Al-Azhar yang diunggah pada Selasa itu terasa seperti suara hati nurani dunia. “Hati nurani kemanusiaan kini sedang diuji di tengah pembantaian terus-menerus terhadap rakyat Palestina di Gaza,” begitu kira-kira intisarinya. Pernyataan itu tegas, bahkan menohok: siapa pun yang mendukung Israel, baik dengan senjata maupun keputusan politik, dianggap sebagai mitra dalam genosida. Kata-kata yang berat, namun lahir dari keprihatinan yang mendalam.
Namun, hanya beberapa jam berselang, pernyataan itu lenyap dari ruang publik. Bukan karena berubah pikiran, melainkan karena ada pertimbangan yang lebih besar: proses negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung. Al-Azhar, melalui pusat medianya, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil “dengan penuh keberanian dan tanggung jawab di hadapan Allah ﷻ.” Ada kesadaran bahwa setiap kata bisa menjadi bara atau air—bisa memicu, bisa pula meredakan.
Bayangkan dilema yang dihadapi para ulama di sana. Di satu sisi, mereka memikul amanah moral untuk bersuara lantang membela yang tertindas. Di sisi lain, mereka juga harus bijak, agar suara itu tidak justru menjadi penghalang bagi upaya damai yang rapuh. Bukankah ini seperti berjalan di atas tali tipis, di mana setiap langkah harus penuh perhitungan?
Jika kita tarik ke dalam kehidupan sehari-hari, barangkali kamu pernah mengalami situasi serupa—ingin membela kebenaran, namun sadar bahwa cara dan timing juga menentukan hasil. Dalam konteks Al-Azhar, keputusan untuk menarik pernyataan bukan berarti mundur dari prinsip, melainkan bentuk ikhtiar agar negosiasi tidak terganggu. “Kami tidak ingin pernyataan tersebut dijadikan dalih untuk menggagalkan atau menunda negosiasi yang tengah berlangsung,” begitu penjelasan mereka.
Di sini, kita belajar bahwa kadang, diam bukan berarti setuju. Kadang, menahan diri justru adalah bentuk keberanian. Dalam tradisi Islam, ada istilah hikmah—kebijaksanaan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Al-Azhar memilih untuk menahan diri, berharap agar darah di Gaza tak lagi tumpah, dan kebutuhan dasar rakyat Palestina segera terpenuhi.
Tentu, keputusan ini menuai pro dan kontra. Ada yang menganggap Al-Azhar terlalu kompromistis, ada pula yang memahami bahwa diplomasi kadang menuntut pengorbanan ego. Namun, jika kita cermati, langkah ini justru memperlihatkan kedewasaan institusi keulamaan dalam membaca situasi global. Mereka tidak sekadar reaktif, tapi juga reflektif—memikirkan dampak jangka panjang dari setiap tindakan.
Menariknya, dalam pernyataan susulan, Al-Azhar menegaskan bahwa keputusan ini diambil “dengan penuh keberanian dan tanggung jawab di hadapan Allah ﷻ.” Ada dimensi spiritual yang tak bisa diabaikan. Dalam Islam, setiap keputusan besar selalu diiringi doa dan harapan agar Allah membimbing langkah-langkah kita. Di akhir pernyataan, mereka memanjatkan doa bagi rakyat Gaza:
Jika kamu perhatikan, narasi ini bukan sekadar soal politik atau diplomasi. Ada dimensi kemanusiaan yang sangat kental. Gaza bukan hanya nama di peta, melainkan simbol ketabahan, harapan, dan juga luka yang belum sembuh. Setiap keputusan yang diambil, baik oleh Al-Azhar maupun pihak lain, selalu berdampak pada jutaan jiwa yang menanti secercah harapan di tengah reruntuhan.
Dalam konteks ini, kita diingatkan bahwa solidaritas tidak selalu harus lantang. Kadang, ia hadir dalam bentuk doa, empati, dan upaya kecil yang konsisten. Mungkin, kita tak bisa langsung menghentikan perang, tapi kita bisa menjaga agar hati kita tetap peka dan tidak terbiasa dengan penderitaan orang lain.
Menarik untuk direnungkan, bagaimana institusi sebesar Al-Azhar pun harus berhadapan dengan dilema moral dan politik yang rumit. Mereka tidak hanya berbicara atas nama diri sendiri, tapi juga mewakili jutaan umat yang berharap pada suara dan doanya. Dalam situasi seperti ini, setiap kata, setiap keputusan, menjadi sangat berarti.
Sebagai penutup, mari kita refleksikan: dalam hidup, seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Tidak semua kebenaran harus diteriakkan, dan tidak semua diam berarti lemah. Kadang, keberanian terbesar justru terletak pada kemampuan menahan diri, menimbang dengan hati, dan bertindak dengan niat yang lurus.
Gaza mengajarkan kita tentang ketabahan, Al-Azhar mengingatkan kita tentang hikmah. Semoga, di tengah dunia yang semakin bising, kita tetap mampu mendengar suara hati nurani—dan berani bertindak, meski kadang harus dalam diam.