Kalau ada lomba dosa yang paling gampang dilakukan di zaman sekarang, gibah dan namimah pasti masuk nominasi utama. Coba deh, siapa yang nggak pernah kepeleset ngomongin orang, apalagi di grup WhatsApp keluarga? Kadang niatnya cuma curhat, eh, ujung-ujungnya malah jadi sesi bedah aib tetangga. Dan yang lebih ngeri, sekarang gibah dan adu domba udah naik level: dari warung kopi ke timeline media sosial. Jempol doang, dosa jalan terus.
Bayangin, zaman dulu kalau mau gibah harus nunggu arisan, nunggu ada yang bawa gorengan, baru deh sesi buka-bukaan dimulai. Sekarang? Tinggal buka HP, scroll dikit, langsung nemu bahan gibah. Ada berita viral, langsung share. Ada status mantan yang nyindir, langsung quote tweet. Kadang, tanpa sadar, kita udah jadi bagian dari rantai dosa yang nggak putus-putus.
Anehnya, makin canggih teknologi, makin gampang juga dosa ini menyebar. Dulu, gibah itu kayak penyakit musiman—muncul pas lebaran atau reuni. Sekarang, tiap detik ada aja yang viral, ada aja yang dikomentarin. Dan yang lebih parah, kadang kita nggak sadar kalau yang kita lakukan itu udah masuk kategori gibah atau namimah. “Ah, cuma bercanda kok!” atau “Biar rame aja grupnya!” Padahal, malaikat pencatat amal nggak pernah skip absen, bro.
Gibah dan namimah itu ibarat snack ringan: enak di awal, nyesek di akhir. Rasanya gurih pas ngomongin orang, tapi pahit pas inget dosa-dosanya. Allah Ta’ala udah wanti-wanti banget soal ini. Dalam Al-Qur’an, Allah bilang:
Kebayang nggak sih, dosa gibah dan namimah itu kayak virus yang nyebar tanpa butuh WiFi. Sekali ada yang mulai, langsung menular ke mana-mana. Dan yang lebih serem, efeknya nggak cuma di dunia, tapi juga di akhirat. Pernah nggak sih, lagi asik scroll timeline, tiba-tiba nemu thread gibah yang panjangnya kayak novel? Awalnya cuma baca, eh, lama-lama ikut nimbrung. “Cuma satu komen doang kok,” pikir kita. Tapi, satu komen itu kadang jadi bola salju yang bikin suasana makin panas.
Nabi ﷺ pernah lewat dua kuburan, terus bilang ke para sahabat, “Penghuni kubur ini lagi disiksa. Yang satu gara-gara nggak bersih-bersih habis pipis, yang satu lagi karena suka adu domba.” (HR. Bukhari & Muslim) Bayangin, dosa yang kelihatannya receh, efeknya bisa sampai ke alam kubur. Jadi, jangan remehkan dosa yang kelihatannya sepele. Kadang, cuma modal jempol dan kuota, kita udah nyicil siksa kubur. Ngeri, kan?
Ngomong-ngomong soal gibah, pernah nggak sih kamu jadi korban? Misal, tiba-tiba ada yang japri, “Eh, katanya kamu kemarin ngomongin si A ya?” Padahal, kamu cuma bilang, “Dia suka telat doang kok.” Eh, besoknya, versi yang nyampe ke si A udah jadi, “Kamu dibilangin pemalas sama si itu!” Nah, inilah namimah: adu domba yang bikin hubungan jadi panas kayak wajan gorengan.
Kadang, niatnya cuma bercanda, tapi efeknya bisa kayak bom waktu. Temen yang tadinya akrab, jadi saling curiga. Grup WhatsApp yang tadinya rame, jadi sepi karena isinya saling sindir. Dan yang paling parah, kadang gibah dan namimah ini dibungkus dengan dalih “demi kebaikan bersama”. Padahal, aslinya cuma pengen jadi pusat perhatian.
Di era medsos, gibah dan namimah makin gampang viral. Satu tweet, satu story, bisa nyebar ke ribuan orang dalam hitungan menit. Dulu, gibah itu butuh effort: cari waktu, cari tempat, dan cari temen yang bisa dipercaya. Sekarang? Tinggal buka aplikasi, ketik, kirim. Selesai. Tapi, dosa yang terkumpul juga makin banyak. Malaikat pencatat amal sampe lembur, bro.
Ada satu kisah yang sering diceritain ustaz-ustaz di pengajian. Suatu hari, ada orang yang datang ke ulama, curhat soal gibah. Si ulama nyuruh dia motong ayam, lalu menyebarkan bulu ayam itu di jalan. Setelah itu, si ulama bilang, “Sekarang, kumpulin lagi bulu-bulu itu.” Si orang tadi bingung, “Mana mungkin, Pak Ustaz? Udah kebawa angin ke mana-mana.” Ulama itu senyum, “Nah, begitu juga gibah. Sekali keluar, nggak bisa ditarik lagi.”
Jadi, sebelum jempol gatel pengen komen atau share, mikir dulu. Jangan sampe kita jadi penyebar bulu ayam digital yang nggak bisa dikumpulin lagi. Kadang, diem itu lebih mulia daripada jadi komentator dadakan yang cuma nambah dosa.