Pernah nggak sih, Kamu lagi musim pemilu, tiba-tiba guru atau kiai di pengajian mulai kode-kode soal capres atau caleg? Mimin yakin, banyak yang pernah ngalamin momen awkward kayak gini: di satu sisi, kita hormat banget sama guru, di sisi lain, hati kecil bilang, “Duh, pilihan politikku beda nih, gimana ya?”
Tenang, Kamu nggak sendirian! Fenomena guru atau kiai ngajak murid dan santri dukung calon tertentu itu udah kayak tradisi musiman. Tapi, boleh nggak sih, murid punya pilihan politik sendiri yang beda dari guru? Yuk, kita bahas santai sambil ngopi!
Jadi gini, menurut Bahtsul Masail NU, pada dasarnya murid memang harus hormat dan patuh sama guru, apalagi kalau urusannya kebaikan. Tapi, urusan politik itu hak setiap warga negara, bro! Konstitusi aja ngasih kebebasan buat milih sesuai hati nurani, masa mimin nggak boleh?
Nah, kalau Kamu punya ijtihad atau pertimbangan sendiri soal calon yang mau dipilih, itu sah-sah aja. Nggak dosa kok beda pilihan sama guru, asal tetap jaga adab dan sopan santun. Jangan sampai beda pilihan malah jadi ajang saling sindir di grup WA alumni, ya!
Analoginya gini: hubungan murid dan guru itu kayak Nabi Musa dan Nabi Khidir. Musa aja, yang levelnya nabi, kadang beda pendapat sama gurunya. Tapi tetap, mereka saling hormat dan nggak saling hujat. Jadi, kalau Kamu beda pilihan, nggak perlu baper apalagi sampai unfollow guru di medsos. Cukup bilang, “Terima kasih atas sarannya, Guru. Saya punya pertimbangan sendiri.”
Intinya, politik itu soal pilihan, bukan soal loyalitas buta. Hormat sama guru tetap nomor satu, tapi suara di bilik coblosan itu urusan pribadi. Yang penting, jangan saling hujat, apalagi sampai ribut di pengajian. Ingat, beda pilihan itu biasa, yang luar biasa itu tetap rukun meski beda warna!
Jadi, Kamu pernah nggak sih, beda pilihan politik sama guru atau kiai? Ceritain dong di kolom komentar, biar mimin nggak merasa jadi satu-satunya alumni yang suka mikir sendiri pas pemilu 🙃