Kalau ngomongin ulama yang namanya nempel di kitab hadis, Ibnu Majah pasti masuk daftar utama. Tapi, siapa sangka, perjalanan hidup beliau nggak kalah seru dari drama Ramadan. Lahir di Qazwin, Irak, tahun 209 H, Ibnu Majah kecil udah akrab sama dunia ilmu. Lingkungannya mendukung banget, kayak rumah yang isinya kutu buku semua.
Sejak umur 15 tahun, Ibnu Majah udah jatuh cinta sama hadis. Bayangin, di usia segitu, beliau udah ngumpulin ribuan hadis. Tapi sebelum jadi “kolektor” hadis, beliau udah hafal Qur’an duluan. Baru setelah itu, mulai deh petualangan keliling negeri buat ngaji ke para guru top: Syam, Kufah, Damaskus, Madinah, Makkah, Mesir, dan masih banyak lagi. Udah kayak travel blogger, tapi bawa kitab, bukan kamera.
Guru-gurunya juga nggak main-main. Ada Ali bin Muhammad Ath-Thanasafi, Muhammad bin Al-Muthanna, Abu Bakar bin Abi Shaybah, dan sederet nama keren lain yang jadi rujukan para penuntut ilmu zaman itu. Setelah 15 tahun lawatan ilmu, Ibnu Majah balik ke Qazwin dan mulai nulis kitab-kitab yang akhirnya jadi warisan monumental.
Murid-muridnya juga bejibun. Dari Ali bin Said, Ishaq bin Muhammad, Ja’far bin Idris, sampai Abul Hasan Ali bin Ibrahim. Pokoknya, rumah beliau kayak basecamp santri yang pengen jadi ahli hadis.
Soal karya, Ibnu Majah nggak pelit. Ada sekitar 30 kitab yang beliau tulis, mulai dari hadis, tafsir, sampai sejarah. Tapi yang paling fenomenal tentu saja Sunan Ibnu Majah. Kitab ini jadi salah satu dari Kutub As-Sittah—enam kitab hadis utama di dunia Islam. Isinya? Lebih dari 4.300 hadis, lengkap dari muqaddimah, 37 kitab, dan 1.500-an bab. Ada hadis shahih, hasan, sampai dhaif. Bahkan, sebagian ulama sempat debat, Sunan Ibnu Majah ini layak nggak sih masuk jajaran Kutub As-Sittah? Tapi, siapa yang bisa nolak karya segede itu?
Ibnu Majah juga dikenal sebagai Muhaddits, Mufassir, dan Muarrikh. Tafsir Qur’an-nya dipuji Ibn Katsir, dan kitab sejarahnya jadi rujukan banyak ulama. Tapi, beliau nggak pernah neko-neko soal hadis dhaif—nggak dikomentarin, nggak dikasih catatan. Biar pembaca yang mikir sendiri, gitu.
Soal reputasi, Ibnu Majah nggak perlu diragukan. Abu Ya’la bilang, “Ibnu Majah itu kepercayaan.” Ibn Khallikan menyebutnya imam dalam hadis. Adz-Dzahabi bilang, “Kritikus, jujur, dan berpengetahuan luas.” Bahkan, Abu Zar’ah sampai bilang, “Kalau kitab Sunan Ibnu Majah udah di tangan orang, kitab lain bisa-bisa nggak laku.”
Setelah puluhan tahun ngajar dan nulis, Ibnu Majah wafat di Qazwin tahun 273 H, bulan Ramadan. Pemakamannya diurus murid-murid setia. Warisannya? Ilmu yang nggak habis-habis, dan semangat belajar yang bikin generasi setelahnya nggak kehabisan inspirasi.
Jadi, kalau kamu lagi males ngaji atau ngerasa belajar itu berat, inget aja Ibnu Majah. Dari kecil udah tekun, keliling negeri demi ilmu, dan akhirnya namanya abadi di dunia Islam. Siapa tau, semangatnya nular ke kamu!