Umum 23 July 2025

Bisakah Indonesia Bebas Pekerja Anak

Bisakah Indonesia Bebas Pekerja Anak
Bagikan:

Kamu pernah membayangkan, di balik hiruk-pikuk kota dan desa di Indonesia, masih ada jutaan anak yang harapannya terhimpit oleh beban kerja? Isu pekerja anak memang bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata dari wajah-wajah kecil yang seharusnya berlari di lapangan, bukan di pabrik atau ladang.

Realita di Balik Angka

Di Solo Raya, sebuah perbincangan di kantor Dinas Sosial membuka tabir tentang tingginya jumlah pekerja anak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat, persentase pekerja anak naik menjadi 2,17% dari 1,72% di tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka terjebak dalam pekerjaan berbahaya—pertanian, konstruksi, industri rumah tangga, hingga pertambangan. Mereka bekerja tanpa perlindungan hukum, tanpa asuransi, dan dengan risiko kesehatan yang tinggi.

Bayangkan seorang anak bernama Rafi. Setiap pagi, ia bukan berangkat ke sekolah, melainkan ke sawah membantu orang tua. Di sela-sela lumpur dan terik matahari, Rafi sering bertanya dalam hati, “Kapan aku bisa belajar seperti teman-teman lain?” Pertanyaan sederhana, tapi penuh makna.

Akar Masalah: Kemiskinan dan Pendidikan

Kemiskinan menjadi akar utama. Dalam keluarga miskin, anak sering dianggap sebagai aset ekonomi. Rafi, misalnya, harus membantu menambah penghasilan keluarga. Ketika biaya sekolah tak terjangkau, dunia kerja menjadi satu-satunya alternatif. Banyak anak akhirnya putus sekolah karena seragam, buku, atau ongkos transportasi yang tak mampu dibayar.

Dialog batin Rafi dan ibunya, Bu Sari, kerap terjadi. “Nak, maafkan Ibu belum bisa membelikan seragam baru. Tapi Ibu ingin kamu tetap sekolah,” ucap Bu Sari dengan suara lirih. Rafi hanya mengangguk, menahan harap.

Upaya dan Tantangan: Dari Program hingga Hukum

Pemerintah dan masyarakat telah berupaya melalui Program Penghapusan Pekerja Anak (PPA-PKH), beasiswa, dan pelatihan. Namun, tantangan tetap besar. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melarang anak di bawah 18 tahun bekerja, kecuali dalam kondisi tertentu. Pengawasan terus ditingkatkan, tapi praktik di lapangan seringkali berbeda.

Perusahaan di sektor padat karya juga dituntut menerapkan rantai pasok bebas pekerja anak. Audit internal dan kerja sama dengan LSM menjadi langkah pengawasan. Tokoh masyarakat dan pemuka agama pun punya peran penting dalam mengubah cara pandang masyarakat.

Inovasi Digital: Harapan Baru

Era digital membawa harapan baru. Sistem data terpadu seperti SIKS-NG memudahkan pelacakan anak berisiko. Aplikasi pelaporan masyarakat dan platform pembelajaran jarak jauh menjadi jembatan bagi anak-anak di daerah tertinggal. Namun, tantangan seperti pandemi COVID-19 dan lemahnya penegakan hukum di sektor informal masih membayangi.

Refleksi: Masa Depan Anak, Masa Depan Bangsa

Pekerja anak bukan sekadar angka. Mereka adalah wajah dari kegagalan sistemik yang harus segera diatasi. Investasi pada anak-anak adalah strategi pembangunan jangka panjang. Setiap anak berhak atas masa depan yang cerah, bukan sekadar bertahan hidup.

Kamu, aku, kita semua, punya peran. Mulai dari edukasi, advokasi, hingga aksi nyata di lingkungan sekitar. Mari jadikan Hari Anak Nasional sebagai momentum untuk mempercepat penghapusan pekerja anak. Karena, masa depan bangsa ada di tangan mereka yang hari ini seharusnya belajar, bermain, dan bermimpi.


“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat), sampai ia dewasa.” (QS. Al-An’am: 152)

Semoga narasi ini menggerakkan hati kita untuk terus peduli dan bertindak. Indonesia bebas pekerja anak bukan sekadar mimpi, tapi cita-cita yang harus kita perjuangkan bersama.

Terkait

Lihat Semua