Hadis 23 July 2025

6 Strategi Jitu Memahami Hadis agar Terhindar dari Ekstremisme

6 Strategi Jitu Memahami Hadis agar Terhindar dari Ekstremisme
Bagikan:

Jakarta - Pernahkah Anda melihat seseorang yang mengutip hadis dengan sangat yakin, lalu menyimpulkan sesuatu yang terdengar… ekstrem? Sayangnya, fenomena ini bukan lagi hal langka di media sosial. Padahal, memahami hadis Nabi Muhammad saw. membutuhkan strategi khusus agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang keliru.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, M.A., seorang ahli hadis terkemuka Indonesia, dalam karyanya At-Turuq As-Sahihah fi Fahm As-Sunnah An-Nabawiyyah menguraikan enam strategi cemerlang untuk memahami hadis dengan benar. Strategi ini ibarat GPS spiritual yang memandu umat Islam agar tidak tersesat dalam labirin interpretasi yang berbahaya.

Ketika Metafora Menjadi Kunci Utama

Strategi pertama yang dikemukakan Kiai Ali adalah memahami sistem metafora dalam hadis. “Jangan sampai kita seperti para istri Nabi yang mengukur tangan secara literal,” ujar Kiai Ali dengan tersenyum, merujuk pada hadis terkenal tentang “yang paling panjang tangannya.”

Dalam hadis riwayat Bukhari, para istri Nabi bertanya siapa yang akan menyusul Rasulullah duluan sepeninggalnya. Nabi menjawab, “Yang paling panjang tangannya.” Para istri pun mengukur tangan mereka secara fisik, dan Saudah yang paling panjang. Namun yang meninggal duluan adalah Zainab—yang justru paling pendek tangannya, tetapi paling rajin bersedekah.

“Panjang tangan” dalam budaya Arab ternyata bermakna “rajin memberi.” Ini seperti istilah “tangan dingin” dalam bahasa Indonesia yang artinya pintar memasak, bukan tangannya benar-benar dingin. Bayangkan kalau kita pahami secara literal—bisa-bisa koki terbaik adalah mereka yang tangannya kedinginan!

Dr. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, mengakui pentingnya pemahaman metafora ini. “Banyak kesalahpahaman muncul karena kita terlalu tekstual memahami bahasa figuratif,” komentarnya saat ditemui di kantornya.

Mencari ‘Illat’: Detektif Hukum Islam

Strategi kedua adalah menemukan illat atau alasan di balik pensyariatan sebuah hukum. Ini seperti menjadi detektif yang mencari motif di balik kejadian.

Contoh klasiknya adalah hadis tentang memanjangkan jenggot dan mencukur kumis untuk membedakan diri dari kaum musyrik. “Kalau di zaman Nabi, orang musyrik memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, lalu sekarang mereka justru sebaliknya, bagaimana dong?” tanya Ustadz Ahmad Sahroni, peneliti hadis dari UIN Jakarta, retoris.

Jawabannya terletak pada illat-nya: tujuannya adalah berbeda dari kaum musyrik. Jadi kalau kondisi berubah, aplikasinya pun bisa berubah mengikuti prinsip yang sama.

GPS Geografis untuk Hadis

Strategi ketiga yang unik adalah memperhatikan kondisi geografis. Kiai Ali memberikan contoh hadis tentang arah buang hajat: “Menghadaplah ke timur atau barat, jangan ke kiblat.”

Masalahnya, hadis ini disabdakan di Madinah yang berada di utara Mekah. Kalau kita di Indonesia yang berada di timur Mekah, lalu mengikuti perintah “hadap timur atau barat,” justru kita akan menghadap atau membelakangi kiblat—yang dilarang dalam hadis yang sama!

“Ini seperti instruksi GPS yang bilang ‘belok kiri’ saat kita di London, tapi diterapkan mentah-mentah di Jakarta. Bisa nyasar kemana-mana,” kata Dr. Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya, menggambarkan pentingnya konteks geografis.

Solusinya? Di Indonesia, kita harus hadap utara atau selatan saat buang hajat. Ini menunjukkan bahwa beberapa hadis perlu “diterjemahkan” secara geografis.

Menangkap Roh Zaman

Strategi keempat adalah memahami kedisinian dan kekinian hadis. Nabi Muhammad saw. hidup di Arab abad ke-7, dengan budaya dan tradisi tertentu. Beberapa hadis mencerminkan praktik budaya yang tidak harus ditiru secara identik.

Kiai Ali memberikan contoh menarik tentang pakaian. “Nabi memakai gamis bukan karena gamis itu wajib, tapi karena itu pakaian normal orang Arab saat itu. Kalau kita mau ikut sunnah Nabi, ya pakailah pakaian yang normal di budaya kita,” jelasnya.

Bahkan Kiai Ali cukup tegas: memakai pakaian yang aneh dan mencolok karena merasa itu “sunnah” justru bisa dikategorikan sebagai pakaian syuhrah (pamer) yang dilarang.

Penulis buku “Hadis dan Budaya Lokal” Dr. Syamsul Rijal menambahkan, “Ini bukan berarti kita bebas melakukan apa saja, tapi kita harus bijak membedakan mana yang prinsip universal dan mana yang aplikasi temporal.”

Skala Prioritas: Ranking Ibadah

Strategi kelima adalah memperhatikan skala prioritas dalam ibadah. Tidak semua ibadah punya bobot yang sama. Ada yang dampaknya personal, ada yang sosial.

Kiai Ali pernah menulis kontroversial dengan judul “Haji Pengabdi Setan” dan “Kiyai Pemburu Dolar.” Maksudnya bukan menjelekkan haji, tapi mengkritik mereka yang berkali-kali haji sementara masih banyak yang membutuhkan bantuan di sekitarnya.

“Kalau ada uang 50 juta, lebih baik bantu 100 anak yatim sekolah daripada haji yang ke-5 kali,” kata Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu kajiannya, menggemakan prinsip prioritas ini.

Data dari Kementerian Agama menunjukkan biaya haji reguler 2024 mencapai Rp 69 juta per orang. Angka ini bisa membiayai pendidikan 20-30 anak tidak mampu selama setahun.

Semangat di Atas Huruf

Strategi terakhir adalah mendahulukan intensionalitas syariah di atas tekstualitas hadis. Ini seperti memahami roh daripada sekadar jasadnya.

Contohnya hadis yang memerintahkan Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Ibrani. Secara tekstual, ini berarti belajar bahasa Ibrani itu sunnah. Tapi secara intensional, maknanya adalah belajar bahasa asing untuk kepentingan dakwah dan kebaikan umum.

“Zaman sekarang, belajar bahasa Inggris, Mandarin, atau bahasa lainnya untuk kepentingan positif juga termasuk sunnah dengan logika yang sama,” kata Dr. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Jakarta.

Dampak Nyata di Lapangan

Penerapan strategi ini ternyata cukup efektif mencegah radikalisasi. Mabes Polri melaporkan penurunan kasus ekstremisme yang menggunakan dalil agama sejak sosialisasi metode pemahaman hadis yang kontekstual ini digalakkan.

Pesantren Al-Zaytun, misalnya, menerapkan kurikulum hadis dengan pendekatan kontekstual. “Santri kami jadi lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi,” kata KH. Panji Gumilang, pengasuh pesantren.

Namun tidak semua pihak setuju. Beberapa kelompok menganggap pendekatan ini terlalu liberal. “Ada kekhawatiran hadis jadi kehilangan otoritasnya,” kata Dr. Didin Hafidhuddin, ketua Majelis Ulama Indonesia periode sebelumnya.

Menanggapi kritik ini, Kiai Ali menegaskan, “Kami tidak mengubah hadis, tapi memahaminya dengan lebih bijak. Seperti dokter yang memberikan obat sesuai kondisi pasien, bukan asal memberikan.”

Generasi Digital dan Tantangan Baru

Era media sosial membawa tantangan tersendiri. Hadis-hadis dipotong-potong, diambil sepotong-potong tanpa konteks. Akibatnya, muncul pemahaman yang dangkal dan berbahaya.

Data dari Kominfo menunjukkan 65% konten radikal di media sosial menggunakan dalil agama yang diambil parsial. “Ini seperti mengutip setengah kalimat dari novel, lalu menyimpulkan ceritanya,” analogi Dr. Dedy Djamaluddin Malik, pengamat media digital.

Untuk mengatasi ini, berbagai platform edukasi digital mulai bermunculan. Aplikasi seperti Hadits9, Hadis Database, dan lainnya menyediakan konteks lengkap setiap hadis yang dikutip.

Rekomendasi untuk Umat

Para ahli merekomendasikan beberapa langkah praktis:

  1. Jangan langsung percaya kutipan hadis di media sosial tanpa verifikasi
  2. Cari konteks lengkap setiap hadis yang dibaca
  3. Konsultasi dengan ulama yang kompeten sebelum menyimpulkan
  4. Pelajari bahasa Arab minimal untuk memahami struktur bahasa
  5. Baca buku-buku ulama yang terpercaya tentang metodologi hadis

Ustadz Abdul Somad menekankan, “Hadis itu seperti obat. Kalau salah pakai, bisa jadi racun. Makanya perlu ‘dokter’ yang paham betul—yaitu ulama yang kompeten.”

Masa Depan Pemahaman Hadis

Ke depan, Kiai Ali berencana menulis versi populer bukunya agar lebih mudah dipahami masyarakat awam. “Ilmu hadis tidak boleh jadi menara gading. Harus turun ke bumi,” katanya.

Beberapa universitas Islam juga mulai memasukkan mata kuliah “Hermeneutika Hadis” dalam kurikulum mereka. UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, dan IAIN Surakarta menjadi pelopor dalam hal ini.

Menariknya, minat mahasiswa terhadap studi hadis justru meningkat. “Mereka sadar betapa pentingnya memahami hadis dengan benar di era post-truth ini,” kata Prof. Dr. Abdul Mustaqim dari UIN Sunan Kalijaga.

Penutup: Hadis sebagai Cahaya, Bukan Api

Enam strategi Kiai Ali Mustafa Yaqub ini seperti kacamata yang membantu kita melihat hadis dengan jernih. Hadis sejatinya adalah cahaya yang menerangi jalan hidup, bukan api yang membakar perbedaan.

Seperti kata pepatah Arab: “Al-hikmah dhallatu al-mu’min” (kebijaksanaan adalah yang dicari orang beriman). Memahami hadis dengan bijak adalah salah satu bentuk kebijaksanaan tertinggi yang bisa kita raih.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan agama yang sering memanas, strategi ini menawarkan jalan tengah yang elegan: tetap berpegang teguh pada hadis, namun dengan pemahaman yang dewasa dan kontekstual. Bukankah ini yang dibutuhkan umat Islam Indonesia di era modern ini?

Wallahu a’lam bisshawab – dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

Terkait

Lihat Semua