Siapa yang tiap Idul Adha suka nungguin “jatah daging” dari masjid? Atau jangan-jangan, kamu tim yang tiap tahun dapet bagian paling banyak karena jadi panitia? Santai, nggak usah ngaku, soalnya hampir semua orang pasti pernah ngerasain deg-degan nunggu plastik merah isi daging kurban mampir ke rumah.
Tapi, pernah nggak sih kepikiran, sebenarnya daging kurban itu buat siapa sih? Apakah cuma buat fakir miskin? Atau boleh juga buat yang punya hewan kurban? Dan, eh, boleh nggak sih daging kurban dijual? Jangan-jangan, selama ini kita cuma ikut-ikutan tanpa tahu aturannya.
Ngomongin kurban, kita nggak bisa lepas dari kisah legendaris: Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bayangin, seorang ayah rela “menyembelih” anaknya sendiri demi taat sama Allah. Untungnya, ending-nya plot twist—Ismail diganti sama kambing. Dari situ, tradisi kurban jadi momen penuh makna, bukan sekadar bagi-bagi daging, tapi juga latihan ikhlas dan berbagi.
Nah, soal pembagian daging, ternyata ada aturannya. Daging kurban itu diutamakan buat masyarakat, terutama mereka yang benar-benar butuh protein hewani—alias para fakir miskin. Tapi, jangan salah, kurban itu beda sama zakat. Kalau zakat, yang ngasih nggak boleh ikut makan. Tapi kalau kurban, yang punya hewan kurban boleh banget makan dagingnya sendiri. Bahkan, Allah langsung kasih izin lewat surat Al-Hajj ayat 36:
Jadi, jangan baper kalau lihat panitia kurban ikut makan sate. Itu bukan korupsi daging, bro, tapi memang haknya!
Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga pernah bilang dalam hadis riwayat Ahmad dan Al Hakim dari Abu Sa’id dan Qatadah bin Nu’man:
Jadi, nggak cuma boleh dimakan, bahkan boleh disimpan buat stok rendang di kulkas. Tapi ingat, jangan sampai lupa dibagi ke tetangga dan yang membutuhkan. Jangan sampai daging kurban cuma jadi penghuni abadi freezer sampai Idul Adha tahun depan.
Nah, soal jual-jualan daging kurban, ini yang sering bikin debat di grup WhatsApp keluarga. Mayoritas ulama sepakat, daging kurban nggak boleh dijual. Kecuali menurut ulama Hanafiah, boleh dijual asal hasilnya dibagikan ke fakir miskin. Tapi, ada juga catatan soal kulit, kaki, atau tanduk. Kalau barang-barang itu susah dimanfaatkan, boleh dijual, tapi uangnya harus dibelikan daging lagi buat dibagi ke yang membutuhkan. Jadi, nggak ada ceritanya panitia dapat “uang lelah” dari hasil jual kulit kambing, ya!
Intinya, kurban itu bukan cuma soal motong hewan dan bagi-bagi daging. Ada nilai keikhlasan, kebersamaan, dan kepedulian yang harus dijaga. Jangan sampai niat ibadah jadi ajang cari untung atau pamer di media sosial. Kalau dapat daging, syukuri dan nikmati. Kalau belum dapat, jangan baper, siapa tahu tahun depan rezekinya lebih banyak.
Akhir kata, Idul Adha itu bukan cuma soal sate dan gulai. Tapi soal berbagi, merangkul yang membutuhkan, dan belajar ikhlas kayak Nabi Ibrahim dan Ismail. Jadi, siap-siap sambut plastik merah dengan hati lapang dan senyum lebar. Siapa tahu, berkahnya nular ke seluruh keluarga!