Ibadah Sejarah Islam Refleksi 24 July 2025

Dari Arafah ke Asyura: Dua Momentum Ketaatan

Dari Arafah ke Asyura: Dua Momentum Ketaatan
Bagikan:

Kamu pernah merenungkan, bagaimana Islam mengajarkan kita untuk memulai dan mengakhiri tahun dengan ketaatan? Dua momentum besar, puasa Arafah dan Asyura, menjadi pengingat bahwa setiap awal dan akhir adalah kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Mari kita telusuri makna mendalam di balik dua ibadah ini, yang menghubungkan sejarah para nabi dengan kehidupan kita hari ini.

Bulan Muharram, pembuka kalender Hijriah, sering disebut sebagai bulan suci yang penuh keberkahan. Ia adalah simbol lembaran baru, sebagaimana para jamaah haji pulang dari tanah suci dalam keadaan bersih dari dosa. Momentum ini selaras dengan sejarah ditetapkannya penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khattab. Meski hijrah Nabi Muhammad ﷺ terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, Muharram dipilih sebagai awal tahun karena perencanaan hijrah dimulai pada bulan Dzulhijjah, saat terjadinya Bai’atul ‘Aqabah.

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa awal gerakan hijrah bermula pada Dzulhijjah, dan Muharram menjadi bulan pertama umat Islam mulai melangkah dalam lembaran baru itu. Bahkan, Allah bersumpah dalam surah Al-Fajr:

وَٱلْفَجْرِ ۝ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar. Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1–2)

Menurut Imam al-Baihaqi, fajar di ayat ini adalah fajar pada hari pertama bulan Muharram, menandai munculnya cahaya hidayah dari hijrah Nabi ﷺ — cahaya yang menerangi seluruh perjalanan umat Islam hingga kini.

Keutamaan Puasa di Bulan Muharram

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
“Puasa paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim, no. 1163)

Imam An-Nawawi menyimpulkan bahwa ini menunjukkan keutamaan besar puasa sunnah di bulan Muharram. Maka, siapa yang menutup tahun dengan puasa Dzulhijjah dan membuka tahun dengan puasa Muharram, berarti telah mengisi awal dan akhir tahun dengan ketaatan. Rasulullah ﷺ bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Puasa hari Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, sedangkan puasa hari Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162)

Mengapa Arafah lebih utama? Karena hari Arafah adalah harinya Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan Asyura adalah harinya Nabi Musa dan Nabi Nuh ‘alaihimassalam. Maka keutamaannya pun berbeda, sesuai dengan maqam kenabian masing-masing.

Hikmah Kesinambungan Dua Puasa Ini

Puasa Arafah dan Asyura menunjukkan kesinambungan risalah kenabian: dari Nuh dan Musa hingga Muhammad ﷺ. Ini menjadi bukti bahwa Islam menghormati sejarah kenabian terdahulu sekaligus memperkuat identitas umat Islam dengan penyesuaian syariat yang lebih sempurna. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua).” (HR. Muslim, no. 1134)

Meskipun beliau wafat sebelum sempat melaksanakannya, para ulama menyunnahkan puasa: Tanggal 9 dan 10 (Tasua & Asyura), atau Tanggal 10 dan 11. Minimal: tanggal 10 saja (Asyura).

Sebagai penutup, mari kita isi dua momentum ini — puasa Arafah dan Asyura — sebagai penutup dan pembuka tahun yang penuh ketaatan. Karena sebagaimana awal dan akhir ditulis dengan kebaikan, maka di antara keduanya pun akan penuh dengan rahmat Allah ﷻ.

Jika kamu ingin membaca artikel lain seputar ibadah dan refleksi spiritual, cek juga artikel kami tentang pentingnya kedekatan orang tua dalam membentuk karakter anak.

Terkait

Lihat Semua