Umum 23 July 2025

Debat Ulama Nahwu Sibawaih Kisai

Debat Ulama Nahwu Sibawaih Kisai
Bagikan:

Ada yang bilang kalau debat itu kayak pertandingan sepak bola. Ada yang menang, ada yang kalah, ada yang ngefans sama tim tertentu. Bedanya, kalau sepak bola pakai kaki, kalau debat pakai otak. Tapi ternyata, ada satu pertandingan debat yang sampai sekarang masih jadi bahan obrolan para pecinta bahasa Arab.

Ceritanya tuh gini. Dulu, sekitar abad ke-8 Masehi, ada dua kubu besar dalam dunia tata bahasa Arab. Ibarat dua club sepak bola raksasa yang selalu bentrok kalau ketemu. Di satu sisi ada Bashrah dengan jagoannya Imam Sibawaih, di sisi lain ada Kufah dengan andalannya Imam Al-Kisa’i.

Sibawaih itu semacam Messi-nya dunia nahwu. Umur masih muda, tapi sudah bikin karya masterpiece yang namanya “Al-Kitab”. Buku ini sampai sekarang masih jadi rujukan utama belajar tata bahasa Arab. Bayangin aja, buku yang dibuat lebih dari 1000 tahun lalu masih relevan sampai sekarang. Itu kayak smartphone jaman now yang masih bisa dipake tahun 3000 nanti.

Sementara Al-Kisa’i, dia itu semacam Ronaldo-nya kubu Kufah. Pengalaman udah segudang, punya backing kuat dari khalifah Harun Al-Rasyid, dan yang paling penting, dia udah jadi guru pribadi anak-anak khalifah. Posisinya di istana tuh solid banget.

Nah, masalahnya mulai muncul ketika Sibawaih datang ke Baghdad. Kayak pemain bintang yang pindah klub, kedatangannya bikin heboh. Yahya bin Khalid, yang notabene pejabat tinggi di pemerintahan, punya ide cemerlang. “Gimana kalau kita adain adu argumen antara dua jagoan ini?” pikirnya.

Tapi sebelum bertemu Al-Kisa’i, Sibawaih harus ngadepin dua “warming up opponent” dulu: Al-Farro’ dan Khalaf. Ini kayak main game fighting, sebelum ngadepin boss akhir, lu harus ngalahin minion-minion dulu.

Pertarungan warming up ini udah bikin Sibawaih geregetan. Setiap jawaban yang dia kasih, malah disalahin. “Anda keliru,” kata mereka. Sibawaih yang notabene udah terbiasa dihormati di Bashrah, mulai kesel. “Ini adab yang buruk!” protesnya.

Al-Farro’ dengan santainya bilang, “Lelaki ini temperamental dan tergesa-gesa.” Terus dia ngasih pertanyaan rumit tentang struktur kalimat Arab. Sibawaih jawab dengan teori Taqdir (perkiraan), tapi tetep aja disalahin. Tiga kali berturut-turut jawabannya ditolak. Udah kayak main tebak-tebakan sama orang yang udah tau jawabannya, tapi tetep bilang salah.

Akhirnya Sibawaih bilang, “Saya nggak mau debat sama kalian berdua. Panggil bos kalian, Al-Kisa’i!”

Dan datanglah sang jagoan Kufah. Al-Kisa’i masuk dengan percaya diri, kayak pemain yang udah yakin bakal menang sebelum pertandingan dimulai. Dia nanya ke Sibawaih, “Anda yang tanya saya atau saya yang tanya Anda?”

“Andalah yang bertanya,” jawab Sibawaih, udah kayak gladiator yang siap tempur.

Lalu Al-Kisa’i ngucapin pertanyaan yang bakal jadi legendaris dalam sejarah nahwu:

قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي
"Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya daripada kumbang. Ternyata sama saja."

Pertanyaannya sederhana: mana yang benar, “فإذا هو هي” atau “فإذا هو إياها”? Sibawaih dengan yakin pilih yang pertama dan bilang yang kedua nggak boleh dinashobkan.

Al-Kisa’i tersenyum tipis. “Anda telah melakukan lahn (kesalahan berbahasa).”

Terus dia ngasih pertanyaan-pertanyaan sejenis. Semua dijawab Sibawaih dengan rofa’ bukan nashob. Dan setiap kali, Al-Kisa’i bilang, “Ini bukan bahasa orang-orang Arab. Orang Arab merofa’kan semuanya dan juga menashobkan.”

Di situlah klimaksnya. Yahya bin Khalid bingung. “Kalian berdua adalah panutan di negeri masing-masing. Siapa yang bisa jadi juri?”

Al-Kisa’i dengan cerdik bilang, “Ini ada orang-orang Arab Badui di pintu Anda. Mereka yang paling fasih. Tanyakan pada mereka.”

Dan di sinilah plot twist-nya. Ternyata para Badui yang dipanggil jadi juri itu ada hubungan dekat sama Al-Kisa’i. Abu Faq’as, Abu Datsar, Abu Tsarwan - semua bergaul sama dia. Udah kayak pertandingan sepak bola yang wasitnya ternyata fans berat salah satu tim.

Hasil sudah bisa ditebak. Para “juri” mendukung Al-Kisa’i. Sibawaih terdiam, kayak pemain yang baru aja kena kartu merah padahal merasa nggak bersalah.

Al-Kisa’i, melihat Sibawaih yang tertunduk, malah ngasih nasihat ke Yahya. “Dia datang dari negerinya dengan penuh harapan. Kalau Anda tidak mau dia pulang dengan kecewa, saya rasa itu baik.” Akhirnya Sibawaih dikasih 10.000 dirham sebagai hiburan.

Tapi uang nggak bisa ngobatin hati yang terluka. Sibawaih yang merasa diperlakukan tidak adil, memutuskan nggak pulang ke Bashrah. Dia pergi ke Persia dan menetap di sana sampai akhir hayat, dengan menyimpan rasa sakit hati atas kejadian ini.

Yang ironis, setelah “kemenangan” itu, Al-Kisa’i malah belajar karya Sibawaih setiap hari Jumat dengan bayar 70 dinar. Bahkan anaknya juga ikutan belajar. Ini kayak pemain yang ngaku menang debat, tapi diam-diam ngoleksi semua buku lawannya.

Masyarakat Bashrah yang tau ini langsung nyinyir. “Lah, katanya karya kita salah, kok malah dipelajari?” Kritikan pedas ini bikin malu kubu Kufah.

Memang, dalam sejarah, ada yang bilang kalau juri-juri itu emang udah diatur. Ada juga yang membela, bilang kalau itu settingan, pasti udah ketahuan dari awal. Tapi yang jelas, perdebatan ini ngasih pelajaran penting.

Pertama, kalau mau jadi juri, harus bener-bener independen. Nggak boleh ada conflict of interest. Kedua, dalam dunia akademik, yang namanya mencari kebenaran itu lebih penting dari ego dan gengsi.

Yang paling miris, Sibawaih yang seharusnya jadi pride of Arabic grammar, malah harus ngrasain pahitnya politik akademik. Padahal karya dia, “Al-Kitab”, sampai sekarang masih jadi rujukan utama. Bukti kalau kualitas itu nggak pernah bohong, meski sempat “kalah” dalam satu pertandingan.

Barangkali ini juga pengingat buat kita. Dalam era media sosial yang serba instan ini, debat online sering jadi ajang pamer ego ketimbang mencari kebenaran. Padahal harusnya, yang namanya diskusi ilmiah itu ya untuk memajukan ilmu, bukan untuk ngejatuhkan lawan.

Sibawaih mungkin “kalah” dalam debat itu, tapi dia menang dalam sejarah. Sementara Al-Kisa’i yang “menang” debat, malah harus belajar dari karya lawannya. Ironis kan?

Jadi, kalau suatu saat kalian lagi debat sama orang, inget aja cerita ini. Menang debat belum tentu benar, dan kalah debat belum tentu salah. Yang penting adalah kejujuran, integritas, dan niat tulus untuk mencari kebenaran. Karena pada akhirnya, kebenaran punya cara sendiri untuk muncul ke permukaan, meski butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Dan yang paling penting, jangan sampai kayak Al-Kisa’i yang “menang” debat tapi akhirnya ngaku kalau ilmu lawannya memang lebih unggul. Mending dari awal ngaku aja kalau ada yang lebih pinter. Nggak ada yang salah dengan belajar dari orang lain, kan?

Terkait

Lihat Semua