Internasional Israel 24 July 2025

Demo Ultra-Ortodoks Yahudi: Wajib Militer Israel di Persimpangan Jalan

Demo Ultra-Ortodoks Yahudi: Wajib Militer Israel di Persimpangan Jalan
Bagikan:

Bus-bus dan mobil menumpuk di pintu masuk Yerusalem, Selasa sore itu. Bukan karena macet biasa, tapi karena ratusan demonstran Yahudi ultra-Ortodoks Haredi memblokir jalan di bawah Jembatan Chords. Spanduk-spanduk bertuliskan penolakan wajib militer IDF berkibar, sementara para pengunjuk rasa duduk di aspal, meneriakkan slogan yang—kalau diterjemahkan bebas—kurang lebih, “Lebih baik mati daripada mendaftar!”

Aksi ini bukan demo pertama, dan sepertinya juga bukan yang terakhir. Fraksi Yerusalem ultra-Ortodoks radikal memang dikenal vokal menolak wajib militer. Tapi kali ini, pemicunya adalah penangkapan tiga anggota kelompok mereka. “Saya sudah menunggu lebih dari satu jam. Jalan benar-benar lumpuh,” keluh seorang sopir bus kepada The Times of Israel. Ia tampak pasrah, mungkin sambil menghitung berapa banyak penumpang yang bakal protes di media sosial.

Polisi? Mereka berjaga di pos lalu lintas, tapi memilih tidak membubarkan kerumunan. “Demo ini ilegal,” kata juru bicara polisi. Tapi, kenyataannya, petugas justru dilempari botol dan diabaikan perintahnya. Belum ada penangkapan, setidaknya sampai berita ini ditulis. Sementara itu, para demonstran tetap bertahan, seolah ingin membuktikan: “Kami di sini, dan kami tidak akan mundur.”

Protes ini bukan sekadar soal wajib militer. Ada sejarah panjang relasi rumit antara negara Israel dan komunitas Haredi. Sejak berdirinya negara Israel, kelompok ultra-Ortodoks mendapat pengecualian dari wajib militer. Namun, tekanan publik dan politik belakangan ini makin kuat. Banyak pihak menilai, di tengah konflik yang terus membara, semua warga negara harus ikut bertanggung jawab.

“Penangkapan kemarin itu hanya pemicu. Sebenarnya, ini soal eksistensi dan identitas,” ujar seorang pengunjuk rasa. Ia menolak disebut fanatik, tapi mengaku siap turun ke jalan lagi jika pemerintah tetap ngotot. “Kami ingin hidup sesuai keyakinan, bukan dipaksa ikut perang.”

Dari sisi pemerintah, argumennya jelas: keadilan sosial. “Tidak adil jika sebagian besar pemuda Israel harus bertugas, sementara kelompok tertentu bebas,” kata seorang analis politik di TV lokal. Namun, bagi Haredi, wajib militer dianggap ancaman terhadap tradisi dan gaya hidup mereka. “Kami belajar Taurat, itu juga kontribusi untuk bangsa,” tegas seorang rabbi muda.

Aksi-aksi seperti ini kerap berujung pada negosiasi alot. Pemerintah ingin menegakkan aturan, Haredi ingin mempertahankan hak istimewa. Sementara warga biasa? Mereka hanya ingin jalanan kembali lancar dan bus datang tepat waktu.

Demo kali ini juga menyoroti dilema polisi Israel. Di satu sisi, mereka harus menegakkan hukum. Di sisi lain, tindakan represif bisa memicu kecaman internasional. “Kami berusaha sabar, tapi kalau situasi memburuk, kami akan bertindak,” ujar seorang petugas di lokasi. Sementara itu, media sosial ramai dengan meme dan komentar sarkastik. “Demo Haredi: lebih ampuh dari lampu merah!” tulis seorang netizen.

Ke depan, isu wajib militer Haredi diprediksi akan terus memanas. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: menegakkan keadilan atau menjaga harmoni sosial. Sementara itu, kelompok ultra-Ortodoks tampaknya siap bertahan, bahkan jika harus duduk di jalanan berjam-jam. “Ini bukan sekadar demo, ini soal masa depan komunitas kami,” kata seorang demonstran senior.

Penutupnya? Mungkin, seperti lalu lintas Yerusalem sore itu: penuh ketidakpastian, kadang macet, kadang lancar. Tapi satu hal pasti, suara-suara dari jalanan tetap akan bergema—setidaknya sampai pemerintah dan Haredi menemukan titik temu, atau sampai sopir bus berhenti mengeluh di Twitter.

Terkait

Lihat Semua