Ada kalanya, diam justru lebih bising daripada teriakan. Di tengah krisis kemanusiaan yang melanda Gaza, keheningan negara-negara Arab dan Islam terasa seperti gema yang menyesakkan dada. Bayangkan, dua seperempat juta jiwa terjebak dalam blokade, kelaparan mengintai di setiap sudut, sementara ribuan truk bantuan hanya bisa menunggu di perbatasan Rafah, seolah menanti aba-aba yang tak kunjung datang.
Hamas, sebagai representasi perlawanan Palestina, tak mampu lagi menahan kegelisahan. Dalam pernyataan yang dirilis Safa Press Agency, mereka mengecam keras keheningan para pemimpin Arab dan Islam. “Keheningan yang memekakkan telinga dari para penguasa negara kami mendorong penjahat perang Netanyahu untuk menerapkan kebijakan kelaparan dan genosida,” begitu bunyi salah satu kalimat yang menggugah nurani. Ada nada getir, namun juga desakan yang tak bisa diabaikan: sudah saatnya mendobrak pembatasan, mengizinkan lebih banyak bantuan masuk, dan memutus segala bentuk normalisasi dengan entitas pendudukan.
Namun, di balik kritik tajam itu, terselip pertanyaan reflektif: mengapa dunia, khususnya dunia Islam, bisa sedemikian pasif? Apakah solidaritas hanya sebatas slogan, atau memang ada kendala yang tak kasat mata? Di ruang-ruang diskusi, pertanyaan ini kerap muncul, mengundang perdebatan yang kadang lebih panas daripada siang di Gaza.
Liga Arab, dalam pertemuan daruratnya, akhirnya mengeluarkan pernyataan yang menuntut tindakan nyata dari komunitas internasional. Mereka menegaskan perlunya pengiriman bantuan kemanusiaan yang mendesak dan tanpa hambatan. Namun, di lapangan, realitas tak semudah itu. Bantuan terhalang birokrasi, politik, dan kadang, kepentingan yang saling bertabrakan.
Jika kamu pernah menyaksikan berita tentang Gaza, mungkin kamu bertanya-tanya: bagaimana rasanya hidup di bawah ancaman kelaparan, sementara dunia seolah menutup mata? Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah anak kecil yang menanti sepotong roti, ada ibu-ibu yang berdoa agar malam ini keluarganya bisa tidur tanpa perut keroncongan. Solidaritas, dalam konteks ini, bukan sekadar donasi atau kiriman doa, tapi juga keberanian untuk bersuara dan bertindak.
Hamas, dalam desakannya, meminta negara-negara Arab dan Islam untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan mengusir duta besar Zionis. Tuntutan ini terdengar radikal, namun lahir dari keputusasaan yang akut. Ketika diplomasi tak lagi mampu menembus tembok blokade, suara perlawanan menjadi satu-satunya harapan.
Di sisi lain, Dewan Liga Arab menolak mekanisme bantuan yang dianggap hanya menjadi kedok penindasan. Mereka menuntut agar bantuan kemanusiaan tidak dijadikan alat politik, melainkan benar-benar menjadi jembatan penyelamat bagi rakyat Gaza. Pernyataan ini, meski terdengar tegas, tetap menyisakan pertanyaan: seberapa besar pengaruhnya di tengah pusaran konflik yang begitu kompleks?
Sebagai pembaca, kita diajak untuk tidak sekadar mengutuk atau bersimpati. Ada tanggung jawab moral yang melekat pada setiap insan beriman: menjaga agar hati tetap peka, tidak terbiasa dengan penderitaan orang lain. Dalam Islam, solidaritas bukan hanya soal retorika, tapi juga aksi nyata—meski sekecil apapun kontribusinya.
Mungkin, kamu pernah merasa lelah dengan berita-berita duka dari Gaza. Namun, kelelahan itu jangan sampai berubah menjadi apatis. Setiap doa, setiap langkah kecil, adalah bagian dari mozaik harapan yang tak boleh padam. Dunia boleh saja diam, tapi hati nurani tak pernah benar-benar bisu.
Sebagai penutup, mari kita renungkan: di tengah dunia yang semakin gaduh, kadang diam justru menjadi bentuk protes paling lantang. Gaza mengajarkan kita tentang arti ketabahan, solidaritas, dan pentingnya menjaga kemanusiaan di atas segala kepentingan. Semoga, di antara riuhnya perdebatan dan kebisuan para pemimpin, suara hati nurani tetap menemukan jalannya.