Dunia Islam Geopolitik Refleksi 24 July 2025

Druze, Israel, dan Suriah: Jejak Minoritas di Tengah Konflik

Druze, Israel, dan Suriah: Jejak Minoritas di Tengah Konflik
Bagikan:

Konflik di Timur Tengah kerap menghadirkan kisah-kisah minoritas yang terhimpit di antara kepentingan besar. Salah satunya adalah etnis Druze, kelompok kecil yang namanya kembali mencuat setelah bentrokan berdarah di Sweida, Suriah. Namun, siapa sebenarnya Druze? Mengapa mereka bisa menjadi pion dalam percaturan geopolitik antara Israel dan Suriah? Mari kita telusuri lebih dalam, dengan sudut pandang yang hangat, reflektif, dan tetap kritis.

Druze: Minoritas dengan Sejarah Panjang

Druze bukan sekadar nama. Mereka adalah komunitas Syiah-Ismailiyah yang telah berkembang menjadi entitas tersendiri sejak abad ke-10. Di Suriah, Lebanon, dan Israel, mereka hidup berdampingan dengan mayoritas Muslim dan Kristen, namun tetap menjaga identitas yang unik. Kerahasiaan ajaran dan loyalitas pada negara tempat tinggal membuat mereka sering dianggap “misterius” di mata dunia Arab.

Konflik Sweida: Ketika Minoritas Menjadi Pusat Perhatian

Juli 2025, Sweida, Suriah, menjadi saksi pertumpahan darah antara milisi Druze dan suku Badui Sunni. Lebih dari 300 nyawa melayang, ratusan keluarga mengungsi, dan ribuan lainnya terdampak. Di balik angka-angka itu, ada kisah pilu tentang rumah yang dibakar, keluarga yang tercerai-berai, dan trauma yang membekas. Namun, konflik ini bukan sekadar soal sektarian. Ada benang merah yang menghubungkan Druze dengan Israel, dan di sinilah cerita menjadi semakin rumit.

Israel dan Druze: Hubungan yang Tak Biasa

Di Israel, sekitar 140.000 warga Druze memiliki status istimewa. Mereka adalah satu-satunya kelompok Arab yang wajib militer di IDF, bahkan sering disebut menjalin “perjanjian darah” dengan negara Yahudi itu. Sejak 1957, Israel mengakui Druze sebagai entitas agama dan etnis terpisah dari Islam. Hubungan ini membuat Druze kerap dipandang sebagai sekutu alami Israel di tengah dominasi Muslim di Timur Tengah.

Ketika milisi Druze di Suriah meminta bantuan Israel, respons datang dalam bentuk serangan udara ke instalasi militer Suriah. Langkah ini menuai kecaman internasional, termasuk dari Amerika Serikat, yang menilai intervensi Israel justru memperkeruh situasi. Namun, bagi sebagian Druze, perlindungan Israel dianggap sebagai “jalan keluar” dari ancaman yang mereka hadapi di tanah sendiri.

Dimensi Geopolitik: Lebih dari Sekadar Sektarian

Pengamat politik menilai konflik Sweida sebagai manifestasi krisis identitas nasional Suriah. Intervensi Israel membawa dimensi geopolitik ke dalam konflik lokal, memperumit upaya perdamaian. Klaim Israel melindungi Druze dianggap sebagai strategi untuk membagi dan melemahkan wilayah Arab, bukan semata-mata alasan kemanusiaan. Bahkan, pemimpin Druze Lebanon, Walid Jumblatt, menegaskan bahwa Israel punya agenda lama untuk memecah-belah kawasan melalui minoritas seperti Druze.

Refleksi: Minoritas di Tengah Badai

Kisah Druze mengingatkan kita bahwa minoritas sering kali menjadi korban dalam pusaran konflik besar. Mereka harus memilih antara bertahan dengan identitas atau berkompromi demi keselamatan. Dalam konteks Islam, perlindungan terhadap minoritas adalah prinsip yang dijunjung tinggi. Namun, realitas politik kadang memaksa pilihan-pilihan sulit yang tak selalu hitam-putih.

Sebagai Muslim, kita diajak untuk tidak mudah menghakimi. Setiap komunitas punya sejarah, trauma, dan alasan di balik setiap keputusan. Yang terpenting, jangan sampai kepentingan politik mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan Islam.

Penutup: Belajar dari Kisah Druze

Kisah Druze, Israel, dan Suriah adalah cermin betapa rumitnya realitas di Timur Tengah. Di balik headline berita, ada manusia-manusia yang berjuang mempertahankan martabat dan identitas. Mari kita jadikan kisah ini sebagai bahan refleksi: bahwa perdamaian, keadilan, dan perlindungan terhadap yang lemah adalah nilai universal yang harus terus diperjuangkan, di mana pun dan kapan pun.

Wallahu a’lam bishawab.

Terkait

Lihat Semua