Hidup di era medsos itu kayak tinggal di RT yang gaada ketua RT-nya. Semua orang merasa berhak jadi komentator dadakan. Ada berita viral? Langsung aja, jempol bergerak lebih cepat dari otak. Kadang mikir, apa ya rasanya hidup tanpa harus kasih pendapat soal semua hal yang ada di timeline?
Ada pepatah bijak yang bilang: “Manusia butuh dua tahun belajar bicara, tapi butuh puluhan tahun belajar diam.” Nah, di zaman sekarang, kayaknya belajar diamnya jadi makin susah. Soalnya, ada aja godaan buat ikut nimbrung di kolom komentar. Lihat berita hoax? Komen. Lihat drama seleb? Komen. Bahkan lihat kucing tetangga? Tetap aja ada yang komen.
Padahal, bro, nggak semua hal harus kita komentari. Kadang, jadi silent reader itu jauh lebih bijak daripada jadi keyboard warrior yang ujung-ujungnya bikin rusuh. Tapi entah kenapa, jempol kita itu kayak punya kehidupan sendiri. Sekali liat postingan kontroversial, langsung deh auto gerak ke kolom komentar.
Yang bikin miris, kebanyakan yang komen itu bukan ahlinya. Ngomongin masalah hukum, padahal bukan sarjana hukum. Bahas masalah kesehatan, padahal bukan dokter. Diskusi ekonomi, padahal tabungannya masih minus. Tapi percaya diri banget ngeluarin pendapat, seolah-olah dia pakar di bidang itu.
Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah bilang yang keren banget:
Nah, ini dia! Makanya sering banget kita liat komentar-komentar aneh yang bikin geleng-geleng kepala. Orang ngomongin virus, padahal dia bukan ahli mikrobiologi. Ngomongin politik, padahal nggak paham sistem pemerintahan. Ujung-ujungnya malah bikin bingung dan tambah keruh suasana.
Yang lebih parah lagi, banyak yang suka sharing berita tanpa cek dulu kebenarannya. Dapat forwaran di grup keluarga? Langsung share. Baca headline provokatif? Gaspol sebarkan. Nggak peduli itu hoax atau bukan, yang penting ikut viral. Kayak lomba siapa yang paling cepet sebarkan berita, padahal nggak tahu benar atau salahnya.
Rasulullah ﷺ udah ngingetin kita banget soal ini:
Jleb banget, kan? Jadi, sebelum kita share atau komen, mending pause dulu. Tanya sama diri sendiri: “Udah yakin nih beritanya bener? Gue paham nggak soal topik ini? Bakal ada manfaatnya nggak kalau gue komen?”
Kalau jawabannya ragu-ragu, mending diem aja. Soalnya, lisan itu salah satu penyebab utama orang masuk neraka. Nabi ﷺ pernah bilang:
Bayangin, bro! Cuma dengan jaga lisan dan kemaluan aja, udah dapat jaminan surga. Tapi di era medsos ini, jaga lisan itu tantangannya level expert. Soalnya, lisan sekarang nggak cuma mulut, tapi juga jemari yang ngetik.
Al-Fudhail bin Iyadh juga pernah ngingetin:
Nah, sekarang tambah lagi deh: terlalu banyak scroll dan komen di medsos. Hati jadi keras, empati berkurang, yang ada malah jadi internet troll yang hobi nyindir dan bikin rusuh.
Yang sering dilupain, semua yang kita tulis di medsos itu akan dimintai pertanggungjawaban. Allah ﷻ udah ngingetin:
Serem nggak sih bayanginnya? Di hari kiamat nanti, Allah bakal tanya: “Lo komen apa aja di medsos? Share berita apa aja? Udah yakin belum semua yang lo sebarkan itu bener dan bermanfaat?”
Makanya, bijak banget nih anjuran Al-Qur’an buat nggak langsung sebar berita, terutama yang bisa bikin panik atau ribut:
Intinya, kalau ada berita penting atau sensitif, jangan langsung viral-in. Serahkan ke ahlinya dulu. Biar mereka yang analisis, yang punya kapasitas dan tanggung jawab buat ngasih penjelasan yang bener.
Ada kisah menarik soal ini. Suatu hari, Nabi ﷺ ngasih kabar gembira ke Muadz: siapa aja yang syahadat dengan jujur, pasti Allah haramkan neraka baginya. Muadz seneng banget, pengen langsung sebar kabar gembira ini. Tapi Nabi ﷺ bilang, “Jangan dulu. Kalau disebarkan sekarang, orang-orang bakal malas beramal, karena merasa udah aman masuk surga.” Muadz pun tahan diri, baru cerita menjelang kematiannya.
Ini pelajaran penting, bro. Bahkan berita baik sekalipun, harus dipikirin timing dan konteksnya. Apalagi berita kontroversial atau yang bisa bikin panik. Nggak semua hal harus disebarkan ke publik, meskipun itu bener.
Jadi, gimana solusinya? Simple kok. Sebelum komen atau share, tanya dulu:
- Apakah gue paham bener soal topik ini?
- Apakah komentar gue bakal ngasih solusi atau malah bikin tambah rusuh?
- Apakah berita yang mau gue share udah pasti bener?
- Apakah ada manfaatnya buat orang lain?
Kalau salah satu jawabannya “nggak”, mending urungkan niat. Kadang, jadi silent reader yang bijak itu jauh lebih mulia daripada jadi komentator yang asal bunyi.
Ingat, di medsos kita itu kayak punya megafon yang bisa didengar jutaan orang. Jadi, gunakan dengan bijak. Jangan sampai megafon kita malah jadi alat penyebar hoax atau hate speech.
Ada quote keren yang bilang: “Better to remain silent and be thought a fool than to speak out and remove all doubt.” Lebih baik diem dan dikira bodoh, daripada ngomong dan ngebuktiin kalau emang bodoh.
Tapi bukan berarti kita harus selalu diem ya, bro. Kalau emang ada yang salah dan kita punya ilmu serta kapasitas buat ngasih penjelasan yang benar, ya silakan. Yang penting, pastikan kita ngomong berdasarkan ilmu, bukan asumsi atau perasaan doang.
Terakhir, ingat pesan Rasulullah ﷺ: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Simple tapi mengena. Kalau nggak bisa ngomong yang baik, mending diem.
Jadi, di era jempol ajaib ini, mari kita jadi netizen yang bijak. Gunakan medsos buat hal-hal yang bermanfaat. Share ilmu, sebar kebaikan, bukan hoax atau hate speech. Ingat, setiap klik, setiap share, setiap komen, ada pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
Yuk, mulai sekarang, sebelum pencet “send”, pause dulu. Mikir sebentar: apakah yang mau kita tulis ini bakal jadi amal jariyah atau justru jadi beban di akhirat? Pilihan ada di tangan kita. Semoga kita semua jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.