Coba bayangin, zaman dulu belum ada psikolog, belum ada istilah “mental health”, tapi sudah ada satu tokoh yang mikirin jiwa manusia sampai ke akar-akarnya. Siapa lagi kalau bukan Ibnu Sina alias Avicenna. Orang Barat aja sampai angkat topi sama beliau. Kalau di era sekarang, mungkin Ibnu Sina udah jadi bintang tamu tetap di podcast-podcast filsafat dan psikologi.
Ibnu Sina ini bukan cuma jago di dunia kedokteran, tapi juga filsafat. Dari remaja, dia udah akrab sama buku-buku berat kayak metafisika Aristoteles. Saking niatnya, buku itu dibaca sampai 40 kali, tetap aja nggak paham. Baru setelah baca penjelasan Al-Farabi, Ibnu Sina baru “ngeh”. Ini kayak kita nonton tutorial YouTube berkali-kali, baru paham setelah ada yang jelasin dengan bahasa tongkrongan.
Nah, salah satu konsep paling keren dari Ibnu Sina adalah tentang hierarki jiwa dan lingkungan hidup. Menurut beliau, manusia itu nggak cuma sekadar daging dan tulang. Ada “indra internal” yang kerjanya ngolah info dari pancaindra. Jadi, kalau kamu bisa ngebayangin suara kayu digesek, itu kerjaan indra internal. Bukan cuma soal lihat, dengar, atau raba, tapi juga soal ngebayangin dan menganalisis.
Ibnu Sina membagi jiwa manusia jadi tiga level: nabati (tumbuhan), hayawani (hewan), dan insani (manusia sejati). Jiwa nabati itu urusannya makan, tumbuh, dan berkembang biak. Kalau hidupmu cuma mikirin makan dan rebahan, selamat, kamu masih di level nabati!
Jiwa hayawani naik satu tingkat. Di sini, manusia udah bisa bergerak, punya insting, dan nafsu. Contohnya, kalau kamu lari pas lihat diskon di mall, itu naluri hayawani. Tapi jangan puas dulu, karena level tertinggi adalah jiwa insani—jiwa yang bisa mikir, merenung, dan mencari makna hidup.
Ibnu Sina bilang, manusia sejati itu yang bisa mengolah akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis itu buat ngatur perilaku sehari-hari, kayak milih mau makan apa, kerja di mana, atau ngerjain tugas. Akal teoritis lebih dalam lagi, buat mikirin hal-hal non-material kayak Tuhan, ruh, dan makna hidup. Kalau kamu suka merenung di tengah malam sambil dengerin lagu galau, itu udah masuk wilayah akal teoritis.
Uniknya, Ibnu Sina juga ngomongin soal “akal perolehan”—akal yang didapat dari pengalaman dan pembelajaran. Jadi, makin banyak belajar, makin tinggi level akalmu. Ini kayak main game RPG, makin sering latihan, makin naik level.
Tapi, Ibnu Sina juga ngingetin, jiwa itu nggak bisa dipisahin dari konteks zamannya. Dulu, filsafat jiwa belum sematang sekarang. Jadi, kalau baca pemikiran Ibnu Sina, jangan lupa pakai kacamata sejarah. Jangan bandingin mentah-mentah sama teori psikologi modern.
Yang menarik, konsep jiwa Ibnu Sina ini juga nyambung ke aspek spiritual dan sufistik. Jiwa itu punya kerinduan buat balik ke asalnya, ke alam rohani. Makanya, kadang kita ngerasa “kosong” walau hidup serba cukup. Itu tanda jiwa lagi kangen pulang.
Ibnu Sina juga bahas soal dorongan makan, tumbuh, dan reproduksi sebagai ciri khas jiwa nabati. Kalau hidup cuma buat makan dan berkembang biak, ya sayang banget. Manusia dikasih akal biar bisa naik kelas, jadi makhluk yang bermanfaat buat alam dan sesama.
Jiwa hayawani, selain bisa bergerak, juga punya naluri buat cari nikmat dan hindari bahaya. Tapi, manusia sejati harus bisa mengendalikan nafsu, bukan dikendalikan nafsu. Kalau nggak, ya hidupnya cuma muter-muter di level hewan.
Jiwa insani, kata Ibnu Sina, adalah puncak hierarki. Di sini, manusia bisa berpikir kritis, berimajinasi, dan mencari kebenaran. Akal praktis dan teoritis saling melengkapi. Akal praktis buat ngatur hidup sehari-hari, akal teoritis buat mikir hal-hal besar.
Ibnu Sina juga percaya, jiwa itu independen dari jasmani. Tubuh boleh rusak, tapi jiwa tetap abadi. Makanya, manusia harus rajin “ngasih makan” jiwa dengan ilmu, pengalaman, dan refleksi spiritual.
Kalau dipikir-pikir, konsep Ibnu Sina ini relevan banget buat zaman sekarang. Di era serba instan, banyak orang lupa ngasih makan jiwa. Hidup cuma buat cari cuan, update status, dan ngejar validasi. Padahal, yang bikin hidup bermakna itu justru perjalanan jiwa naik kelas.
Jadi, next time lagi galau atau ngerasa hidup datar-datar aja, coba deh baca pemikiran Ibnu Sina. Siapa tahu, kamu jadi lebih paham diri sendiri, lebih bijak, dan makin cinta sama proses belajar.
Wallahu a’lam.