Kamu tentu pernah merasa lelah dengan hiruk-pikuk dunia yang seolah tak pernah memberi jeda. Setiap sudut kota, layar ponsel, bahkan ruang tamu di rumah sendiri, kadang terasa penuh sesak oleh tuntutan dan barang-barang yang menumpuk. Di tengah arus hidup serba cepat, banyak dari kita mulai bertanya: adakah cara sederhana untuk menemukan ketenangan dan kesehatan mental?
Gaya hidup minimalis hadir sebagai jawaban yang tak sekadar tren. Ia adalah seni memilih, seni melepaskan, dan seni menemukan makna dalam kesederhanaan. Bukan hanya soal merapikan rumah atau membuang barang yang tak terpakai, tapi juga tentang membebaskan diri dari beban emosional dan mental yang selama ini tanpa sadar kita pikul.
Mari kita mulai dari ruang paling dekat: rumah. Pernahkah kamu memperhatikan, betapa lega rasanya ketika meja kerja rapi, lemari tidak sesak, dan hanya ada barang-barang yang benar-benar kamu butuhkan? Dr. Nurul Ain Mohamad Kamal, seorang pakar psikiatri dari Malaysia, menegaskan bahwa ruang fisik yang tertata rapi bisa mengurangi stres dan kecemasan. “Ketika barang-barang berkurang, ruang fisik menjadi lebih tertata dan bebas dari kekacauan. Ini bisa mengurangi gangguan visual yang selama ini tanpa disadari menjadi sumber stres dan kecemasan,” ujarnya.
Namun, minimalisme bukan berarti hidup dalam kekurangan. Justru, dengan lebih sedikit barang, kita punya lebih banyak ruang—baik secara fisik maupun batin. Kita tak lagi sibuk memikirkan penyimpanan, perawatan, atau godaan membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Ada kebebasan yang lahir dari keterbatasan, dan di situlah letak keindahannya.
Bukti ilmiah pun mendukung. Studi dalam ScienceDirect (2021) menunjukkan bahwa hidup minimalis mampu meningkatkan perasaan positif seperti kepuasan dan ketenangan, sekaligus mengurangi gejala depresi. Sementara itu, penelitian lain dalam International Journal of Applied Positive Psychology (2020) menyebut bahwa mereka yang menjalani gaya hidup ini cenderung memiliki rasa otonomi lebih tinggi, merasa lebih kompeten, punya ruang berpikir yang lebih luas, serta emosi yang lebih stabil.
Tentu, perjalanan menuju minimalisme tidak selalu mulus. Ada kalanya kita terjebak dalam dilema: menyimpan karena takut menyesal, atau membuang karena ingin segera lega. Di sinilah refleksi menjadi penting. Metode KonMari yang dipopulerkan Marie Kondo, misalnya, mengajarkan kita untuk hanya menyimpan benda yang benar-benar “spark joy”—memunculkan rasa bahagia. Konsep ini, jika dipadukan dengan nilai-nilai Islam, menjadi semakin bermakna. Bukankah Rasulullah ﷺ pun mencontohkan hidup sederhana, tidak berlebihan, dan selalu bersyukur atas yang ada?
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Ayat ini mengajarkan keseimbangan—tidak berlebihan, tidak pula kekurangan. Minimalisme dalam Islam bukan sekadar soal jumlah barang, tapi tentang sikap batin: mampu menahan diri dari keinginan yang tak perlu, dan bersyukur atas yang dimiliki.
Ada satu kisah menarik dari seorang teman yang memutuskan untuk hidup minimalis setelah merasa hidupnya terlalu penuh dengan “barang kenangan”. Ia mulai memilah, menyumbangkan pakaian yang sudah lama tak dipakai, dan hanya menyisakan benda-benda yang benar-benar bermakna. Hasilnya? Ia merasa lebih ringan, lebih fokus, dan lebih mudah bersyukur. “Ternyata, melepaskan itu bukan kehilangan, tapi menemukan ruang baru untuk tumbuh,” katanya.
Tentu, minimalisme juga punya tantangan. Kadang, kita tergoda untuk membuang terlalu banyak barang secara impulsif, lalu menyesal di kemudian hari. Dr. Nurul Ain mengingatkan, minimalisme harus dijalani dengan seimbang. Jangan sampai keinginan untuk “kosong” justru membuat kita kehilangan identitas atau kenangan berharga. Pilihlah dengan bijak, dan jangan ragu untuk menyimpan barang yang memang punya nilai sentimental atau fungsi nyata.
Dalam kehidupan sehari-hari, minimalisme bisa diterapkan dengan langkah-langkah kecil. Mulai dari merapikan meja kerja, mengurangi notifikasi di ponsel, hingga membatasi aktivitas yang tidak memberi manfaat. Setiap langkah kecil adalah bagian dari perjalanan besar menuju hidup yang lebih bermakna.
Sebagai penutup, mari kita renungkan: apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup yang serba cepat ini? Apakah kebahagiaan terletak pada banyaknya barang, atau justru pada ruang kosong yang memberi kita kesempatan untuk bernapas, berpikir, dan bersyukur? Minimalisme bukan tujuan akhir, tapi proses menemukan makna di balik kesederhanaan. Yuk, mulai dari hari ini, kita tata ulang hidup kita—bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang hati dan pikiran.
Jika kamu ingin membaca artikel lain seputar kesehatan mental dan keluarga, cek juga artikel kami tentang pentingnya kedekatan orang tua dalam mencegah kenakalan remaja.