Kamu pernah mendengar kisah tentang pasangan yang baru menikah, namun harus berpisah sebelum sempat membangun kehidupan bersama? Dalam dinamika rumah tangga, perpisahan kadang datang lebih cepat dari harapan. Salah satu pertanyaan yang sering muncul: bagaimana ketentuan iddah bagi perempuan yang dicerai sebelum sempat disetubuhi suaminya?
Iddah: Makna, Tujuan, dan Realita
Iddah, dalam tradisi Islam, adalah masa tunggu yang wajib dijalani perempuan setelah perceraian. Tujuannya jelas: memastikan rahim kosong dari kemungkinan kehamilan. Namun, bagaimana jika pernikahan belum sempat dijalani secara fisik? Dalam kasus ini, Islam memberikan pengecualian yang sangat manusiawi.
Bayangkan seorang perempuan bernama Hana. Ia menikah, namun karena perbedaan visi dan karakter, pernikahan itu harus berakhir sebelum sempat ada hubungan suami-istri. Hana bertanya-tanya, “Apakah aku harus menjalani iddah?” Jawabannya: tidak. Karena tidak ada kemungkinan kehamilan, tidak ada kewajiban iddah.
Dalil dan Penjelasan Ulama
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi menegaskan, perempuan yang ditalak sebelum sempat berhubungan tidak memiliki masa iddah, baik suaminya menyentuhnya pada selain farji atau tidak. Hal ini juga ditegaskan Syekh Ibrahim Al-Bajuri: tidak ada kewajiban iddah karena rahimnya tidak memiliki sesuatu yang mewajibkan masa tunggu.
Islam menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an:
Ayat ini menjadi landasan utama: perempuan yang dicerai sebelum digauli tidak memiliki masa tunggu iddah. Namun, suami tetap wajib memberikan mut’ah—pemberian yang menenangkan hati, baik berupa harta atau pakaian, sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan.
Hikmah dan Etika dalam Berpisah
Islam tidak hanya mengatur hukum, tapi juga etika. Berpisah dengan cara baik adalah perintah. Tidak boleh menyakiti, menahan hak, atau mempermalukan. Setiap perpisahan, meski pahit, harus dijalani dengan adab dan kasih sayang. Hana, dalam kisah tadi, menerima mut’ah dari mantan suaminya sebagai bentuk penghormatan, bukan belas kasihan.
Dialog batin Hana pun terjadi. “Mungkin ini bukan jalan yang kupilih, tapi aku ingin tetap menjaga martabat dan kebaikan hati.” Ia belajar, bahwa dalam Islam, hak perempuan dijaga, bahkan dalam situasi paling rapuh sekalipun.
Refleksi: Hak, Martabat, dan Kebaikan
Kisah iddah sebelum disetubuhi mengajarkan kita tentang keadilan dan kasih sayang dalam Islam. Tidak ada aturan yang memberatkan tanpa alasan. Setiap hukum punya hikmah, setiap perpisahan punya ruang untuk kebaikan.
Kamu, aku, kita semua, bisa belajar dari kisah ini. Bahwa menjaga hak dan martabat perempuan adalah bagian dari iman. Bahwa setiap perpisahan, jika dijalani dengan adab, akan meninggalkan jejak kebaikan, bukan luka.
“Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Ahzab: 49)
Semoga narasi ini menginspirasi kita untuk selalu menjaga adab, hak, dan kebaikan dalam setiap fase kehidupan, termasuk saat harus berpisah.