Bayangin deh, kamu hidup di negara super kaya, punya apartemen mewah, mobil sport, dan rekening bank selalu tebal. Tapi, kok tetep ngerasa hampa ya? Sementara, ada orang yang cuma punya rumah sederhana, naik motor butut, tapi tiap pagi bangun dengan senyum merekah. Aneh nggak sih? Ternyata, fenomena ini terbukti secara ilmiah. Bahkan, Indonesia yang bukan negara terkaya malah jadi salah satu negara dengan penduduk yang paling “flourishing” alias sejahtera secara menyeluruh.
Pada 30 April 2025 lalu, Indonesia mencatatkan sejarah yang bikin bangga. Kita meraih peringkat tertinggi dalam indeksasi global sebagai negara yang paling sejahtera secara menyeluruh dengan skor 8,47. Mengalahkan negara-negara sultan kayak Amerika (7,18), Jepang (5,93), bahkan Swedia (7,04) yang selama ini jadi kiblat “welfare state”. Kok bisa? Emangnya apa sih yang bikin kita lebih sejahtera dari mereka?
Studi Global Flourishing Study (GFS) mengungkap fakta menarik. Flourishing alias kesejahteraan holistik ternyata nggak cuma diukur dari tebalnya dompet. Ada enam aspek yang dinilai: kebahagiaan, kesehatan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan stabilitas keuangan. Negara-negara berpendapatan menengah kayak Indonesia, Meksiko, dan Filipina justru menduduki tiga posisi teratas. Sementara negara-negara kaya malah mencatat skor terendah.
Kita yang katanya masih negara berkembang justru punya sesuatu yang nggak dimiliki negara-negara kaya: kekuatan hubungan sosial, rasa memiliki makna hidup, dan aktif terlibat dalam komunitas agama. Di Indonesia, mereka yang rutin ikut kegiatan keagamaan punya skor kesejahteraan lebih tinggi. Seolah-olah ada pesan tersembunyi: “Duit doang mah nggak cukup, brader!”
Tapi tunggu dulu, sebenernya apa sih kesejahteraan itu menurut pemikir muslim? Apa pandangan ulama-ulama klasik tentang konsep ini? Apa kekayaan dan kesejahteraan itu sama? Atau justru beda sama sekali?
Salah satu pemikir muslim yang paling dikenal bicara soal kesejahteraan adalah Ibnu Khaldun. Dalam kitab monumentalnya, beliau menjelaskan konsep ‘umran’, yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti “peradaban yang sejahtera”. Tapi umran bukan sembarang peradaban—ini adalah kehidupan bersama yang dibangun atas fondasi kerja sama (ta’awun) dan keadilan (‘adl).
Keren banget kan pemikiran Ibnu Khaldun? Beliau menegaskan bahwa manusia nggak bisa hidup sendiri. Kita butuh kerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar, dari makanan sampai keamanan. Kerja sama ini membentuk fondasi peradaban yang aman, teratur, dan sejahtera.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, kesejahteraan nggak bisa dicapai hanya dengan mengejar kekayaan pribadi. Kesejahteraan adalah capaian kolektif dari masyarakat yang saling bekerja sama dan menegakkan keadilan. Jadi, walau kamu kaya raya tapi hidup di tengah masyarakat yang penuh ketimpangan dan ketidakadilan, kamu nggak bisa dibilang benar-benar sejahtera.
Ibnu Khaldun juga mengutip pandangan Aristoteles yang mengumpamakan kesejahteraan dunia seperti kebun yang indah:
Metafora kebun ini ngegambarin dengan cantik bagaimana kesejahteraan itu seperti ekosistem yang saling terhubung. Negara, pemimpin, tentara, harta, rakyat, dan keadilan—semuanya punya peran penting. Tapi perhatikan ya, keadilan disebutkan sebagai elemen yang melindungi rakyat dan menjadi fondasi tegaknya dunia. Tanpa keadilan, kebun itu akan layu dan mati.
Al-Mawardi, ulama klasik lainnya, menggunakan metafora yang berbeda namun sama indahnya. Beliau menyebut kesejahteraan sebagai “kesuburan” (al-khishb) yang membuat jiwa-jiwa menjadi lapang dan menumbuhkan solidaritas:
Al-Mawardi melihat kesejahteraan bukan hanya soal kekayaan material, tapi juga suasana batin yang tenang dan masyarakat yang solid. Ketika si kaya dan si miskin sama-sama merasa memperoleh bagian yang adil, maka iri hati akan berkurang dan hubungan sosial menguat. Kesejahteraan sejati menciptakan lapang dada untuk saling berbagi, bukan menumpuk harta untuk diri sendiri.
Jadi, apa hubungan pandangan ulama klasik ini dengan tingginya skor kesejahteraan Indonesia? Ternyata, nilai-nilai yang mereka tekankan—kerja sama, keadilan, harmoni sosial, dan solidaritas—adalah nilai-nilai yang masih kuat tertanam dalam masyarakat Indonesia!
Nilai gotong royong (ta’awun) masih menjadi ciri khas kehidupan bermasyarakat kita. Dari acara hajatan sampai pembangunan fasilitas umum, kita masih suka saling membantu. Ini membuat kita merasa nyaman dan aman secara sosial, nggak kesepian seperti di banyak negara maju yang super individualis.
Keadilan dan saling menghargai juga menjadi fondasi kerukunan sosial kita. Walau masih banyak ketimpangan, tapi semangat berbagi dan meratakan kesejahteraan masih kuat. Kita masih punya tradisi sedekah, infaq, dan berbagai bentuk filantropi yang menjembatani si kaya dan si miskin.
Yang paling penting, masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi makna hidup yang berorientasi nilai-nilai spiritual. Kegiatan keagamaan nggak cuma ritual, tapi juga sarana untuk menguatkan ikatan sosial dan memaknai kehidupan. Ini yang bikin hidup terasa lebih bermakna, walau dompet nggak selalu tebal.
Fakta bahwa Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam Global Flourishing Study memberi kita pelajaran berharga: kesejahteraan sejati nggak diukur dari seberapa banyak harta yang kita punya, tapi seberapa bermakna hidup yang kita jalani dan seberapa kuat ikatan sosial yang kita bangun.
Jadi, next time ada yang bilang “uang bukan segalanya,” coba kasih tau dia bahwa statement itu bukan cuma quote motivasi murahan. Ada data ilmiah dan pemikiran ulama klasik yang mendukungnya. Kekayaan boleh jadi faktor penting, tapi kesejahteraan sejati butuh lebih dari sekadar duit. Butuh makna, butuh keadilan, dan butuh kebersamaan.
Seperti kata nenek-nenek kita dulu: “Banyak uang bisa beli kasur empuk, tapi nggak bisa beli tidur nyenyak.”