Namanya memang terdengar teknis—kemiskinan absolut. Tapi, buat banyak orang, ini bukan sekadar istilah statistik. Ini tentang perut yang kosong, anak-anak yang menahan lapar, dan ibu yang menahan air mata di balik senyum tipisnya.
Kamu mungkin pernah melihatnya: seorang ayah pulang dengan tangan hampa, seorang ibu mengaduk air panas agar anaknya merasa kenyang, atau anak-anak yang menahan keinginan punya sepatu baru karena tahu, untuk makan saja orang tuanya harus berjuang mati-matian. Inilah realita kemiskinan absolut—saat kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan terasa seperti kemewahan yang jauh dari jangkauan.
BPS mencatat, angka kemiskinan absolut di Indonesia memang menurun. Tapi di balik angka-angka itu, ada jutaan cerita perjuangan yang tak pernah masuk berita. Ada keluarga yang tetap harus memilih: hari ini beli beras, atau bayar sekolah anak?
Dalam sejarah Islam, kemiskinan bukan sekadar angka. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kemiskinan itu hampir saja menjadi kekafiran.” Tapi, lihatlah bagaimana Nabi memperlakukan orang miskin: bukan dengan mengasihani, tapi dengan memuliakan. Di Madinah, beliau membangun masyarakat yang saling menguatkan. Kaum Muhajirin yang kehilangan segalanya dipeluk oleh kaum Anshar, dibagi rumah, dibagi makanan, bahkan dibagi harapan. Zakat, infak, dan sedekah bukan sekadar ritual, tapi jembatan agar tak ada yang tertinggal sendirian dalam gelap.
Kadang, dunia memang terasa berat. Komentar orang bisa lebih tajam dari lapar itu sendiri. “Kenapa nggak kerja lebih keras?” atau “Kurang bersyukur, kali.” Padahal, tak semua kemiskinan lahir dari malas. Ada yang lahir dari sistem, dari ketidakadilan, dari rezeki yang memang belum berpihak.
Kamu yang sedang berjuang, percayalah: kamu bukan gagal. Kamu sedang bertahan di dunia yang kadang terlalu keras untuk sekadar jujur pada luka. Tak apa merasa lelah. Tak apa menangis. Tapi jangan pernah merasa sendirian. Dalam Islam, tangan-tangan yang saling menggenggam itu lebih kuat dari sekadar angka statistik.
Jangan ragu meminta bantuan. Jangan malu mengakui lelahmu. Karena di balik setiap perjuangan, ada Allah yang Maha Melihat, dan ada kita yang siap memelukmu—meski hanya lewat kata-kata.
Kamu cukup. Kamu berharga. Dan kamu layak bahagia, meski dunia kadang lupa caranya berbagi.