Refleksi Akhlaq 24 July 2025

Khutbah Jum'at: Ketika Malu Hilang, Dosa Jadi Biasa

Khutbah Jum'at: Ketika Malu Hilang, Dosa Jadi Biasa
Bagikan:

Pernahkah kamu memperhatikan, bagaimana perubahan zaman perlahan-lahan menggeser batas-batas rasa malu di tengah masyarakat kita? Di era digital ini, di mana segala sesuatu bisa dibagikan dan dipertontonkan, rasa malu yang dulu menjadi benteng moral kini kerap dianggap kuno. Fenomena ini bukan sekadar perubahan kecil, melainkan pergeseran nilai yang berdampak luas pada perilaku dan cara pandang kita terhadap dosa.

Mari kita mulai dengan sebuah refleksi sederhana. Dulu, orang merasa sungkan jika melakukan kesalahan di depan umum. Kini, sebagian justru bangga memamerkan perilaku yang dulu dianggap aib. Media sosial menjadi panggung, dan popularitas seringkali lebih diutamakan daripada integritas. Apakah ini berarti rasa malu sudah kehilangan maknanya?

Padahal, dalam tradisi Islam, malu bukan sekadar perasaan negatif yang harus dihindari. Ia adalah bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.
Menarik, bukan? Malu di sini bukan sekadar takut dinilai orang, melainkan kesadaran mendalam akan hubungan kita dengan Allah dan sesama.

Coba kita renungkan, mengapa sifat malu begitu penting? Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa meninggalkan larangan Allah jauh lebih berat daripada menjalankan perintah-Nya. Menahan diri dari syahwat, dari godaan untuk melanggar, adalah ujian sejati. Malu menjadi rem yang menahan kita dari perbuatan tercela, baik di hadapan manusia maupun saat sendiri.

Imam Abu Laits As-Samarqandi membagi malu menjadi dua: malu kepada manusia dan malu kepada Allah. Malu kepada manusia membuat kita menjaga pandangan dan perilaku di ruang publik. Malu kepada Allah, lebih dalam lagi, adalah kesadaran bahwa setiap nikmat yang kita terima seharusnya membuat kita enggan bermaksiat. Dua aspek ini, jika dihayati, akan membentuk karakter yang kokoh dan berintegritas.

Namun, realitas hari ini menunjukkan tantangan besar. Tekanan untuk tampil sempurna di media sosial, dorongan untuk diakui, kadang membuat kita abai pada batas-batas etika. Bahkan, ada yang berani memamerkan kemaksiatan tanpa rasa bersalah. Apakah ini tanda bahwa kita mulai kehilangan rasa malu?

Mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih luas. Rasa malu bukan penghalang kebebasan, melainkan penjaga martabat. Ia membedakan manusia dari makhluk lain. Tanpa malu, seseorang bisa terjerumus melakukan apa saja, tanpa peduli dampak bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks ini, malu adalah pelindung, bukan beban.

Menariknya, Islam tidak hanya menekankan pentingnya malu, tapi juga mengajarkan bagaimana menumbuhkannya. Salah satu nasihat ulama salaf: jika hawa nafsu mengajakmu berbuat dosa, pandanglah ke langit dan malulah kepada penghuni langit. Jika itu belum cukup, pandanglah ke bumi dan malulah kepada penghuni bumi. Jika masih tak mampu, waspadalah, karena itu tanda hati mulai mati.

Fenomena menurunnya rasa malu ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Bukan untuk saling menghakimi, tapi untuk saling mengingatkan. Setiap individu punya peran menjaga marwah diri dan komunitas. Malu bukan sekadar urusan pribadi, tapi juga sosial. Ketika rasa malu hilang, dosa pun menjadi biasa, bahkan dirayakan.

Lalu, bagaimana kita menumbuhkan kembali rasa malu yang konstruktif? Mulailah dari diri sendiri. Jujur pada hati, berani mengakui kekurangan, dan terus belajar memperbaiki diri. Lingkungan yang suportif juga penting—komunitas yang saling mengingatkan tanpa menghakimi, keluarga yang menanamkan nilai sejak dini, dan teman yang berani menegur dengan kasih.

Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan menjaga keseimbangan antara harapan dan ketakutan, antara malu dan percaya diri. Malu yang sehat akan menuntun kita pada kebaikan, sementara kehilangan malu adalah awal dari kerusakan. Mari kita rawat rasa malu sebagai bagian dari iman, bukan sekadar tradisi lama yang usang.

Sebagai penutup, mari kita refleksikan: apakah kita sudah cukup menjaga rasa malu dalam kehidupan sehari-hari? Atau justru mulai abai, membiarkan dosa menjadi biasa? Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan tanpa kendali diri. Malu adalah anugerah, bukan beban. Ia adalah cahaya yang menuntun kita di jalan kebaikan. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menjaga dan menumbuhkan rasa malu, demi kebaikan diri, keluarga, dan masyarakat.

Terkait

Lihat Semua