Namanya Khaizuran. Mungkin tak banyak yang tahu, di balik tirai istana Abbasiyah, ada seorang perempuan yang langkahnya sunyi tapi gaungnya mengguncang kekuasaan. Ia bukan putri bangsawan, bukan pula anak pejabat. Ia hanya seorang budak dari Yaman, yang hidupnya berubah total karena keberanian dan kecerdasannya.
Pernahkah kamu merasa dunia menilaimu dari apa yang tampak di luar? Khaizuran pun begitu. Tubuhnya kurus, sering diremehkan. Tapi justru dari sanalah ia membuktikan: kekuatan tak selalu soal otot, kadang soal hati dan akal yang tak mudah ditaklukkan.
Setelah menjadi istri Khalifah al-Mahdi, Khaizuran tak sekadar duduk manis di balik dinding istana. Ia mendengarkan keluh kesah rakyat, mengatur urusan negara, bahkan menentukan siapa yang layak jadi pejabat. Semua dilakukan dari balik pintu, tanpa sorotan lampu, tapi pengaruhnya nyata. Orang-orang datang padanya, berharap pertolongan, mencari keadilan. Ia jadi pelindung, sekaligus penentu arah kebijakan.
Tapi, dunia politik memang kejam. Ketika suaminya wafat, Khaizuran bergerak cepat. Ia pastikan putranya, Musa al-Hadi, naik takhta. Ia bahkan rela mengorbankan harta demi meredam gejolak tentara. Namun, kekuasaan kadang membuat jarak. Hubungan ibu dan anak yang dulu hangat, berubah jadi dingin dan penuh curiga. Al-Hadi, sang putra, merasa bayang-bayang ibunya terlalu besar. Ia marah, bahkan menuduh ibunya bermain mata dengan pejabat. Kata-kata kasar meluncur, luka di hati Khaizuran pun menganga.
Mungkin kamu juga pernah, merasa tak dihargai oleh orang terdekat hanya karena ingin membantu. Khaizuran memilih menjauh, tapi rumor tak pernah berhenti. Ia dituduh terlibat dalam kematian anaknya sendiri. Benar atau tidak, sejarah hanya mencatat luka dan ambisi yang saling bertabrakan.
Setelah al-Hadi wafat, Khaizuran kembali jadi bayangan di balik kekuasaan. Ia mengangkat Harun ar-Rasyid, putra keduanya, jadi khalifah. Selama tiga tahun, semua urusan negara harus lewat restunya. Bahkan Harun pun mengaku, tak berani melawan kehendak ibunya.
Khaizuran akhirnya wafat, meninggalkan warisan yang penuh kontroversi. Ia perempuan pertama di Dinasti Abbasiyah yang berani mengatur pemerintahan secara langsung. Dari budak, jadi ibu dua khalifah, dan perempuan paling berkuasa selama dua dekade. Ia dicintai, dibenci, dikagumi, sekaligus dicurigai.
Kisah Khaizuran mengajarkan: kadang, dunia memang tak adil pada perempuan yang berani bermimpi dan bertindak. Tapi, seperti Khaizuran, kamu pun berhak menentukan jalanmu sendiri. Tak perlu takut jadi “bayangan” di balik kekuasaan, selama niatmu tulus dan hatimu kuat.
Kamu bukan gagal. Kamu hanya sedang belajar bertahan di dunia yang kadang terlalu bising untuk mendengar suara hatimu. Peluk hangat untukmu, pejuang di balik layar.