Umum 23 July 2025

Kiai Ali Mustafa Yaqub Ulama Hadis

Kiai Ali Mustafa Yaqub Ulama Hadis
Bagikan:

Kalau ada lomba ulama paling sering disebut di seminar hadis Indonesia, nama Kiai Ali Mustafa Yaqub pasti masuk nominasi. Bukan cuma karena gelar dan jenggotnya yang khas, tapi juga karena pemikirannya yang kadang lebih segar dari es kelapa muda di siang bolong.

Lahir di Desa Kemiri, Batang, Jawa Tengah, tahun 1952, Kiai Ali tumbuh di keluarga yang agamis dan, katanya, cukup berkecukupan. Tapi jangan bayangin hidupnya kayak sinetron keluarga sultan. Sejak kecil, beliau sudah dididik disiplin, kritis, dan—ini yang penting—nggak gampang baper. Ayahnya, H. Yaqub, pendakwah yang tegas soal amar ma’ruf nahi munkar. Ibunya, Hj. Siti Habibah, guru sekaligus manajer rumah tangga. Jadi, nggak heran kalau Kiai Ali tumbuh jadi pribadi yang sederhana, mandiri, dan nggak neko-neko.

Perjalanan pendidikannya juga nggak kalah seru. SD dan SMP di kampung sendiri, lalu mondok di Jombang, lanjut ke Tebuireng, dan kuliah di Universitas Hasyim Asy’ari. Tahun 1976, dapat beasiswa ke Riyadh, Arab Saudi. Di sana, beliau kuliah di Fakultas Syariah, Universitas Imam Muhammad bin Saud. S2-nya di King Saud, jurusan Tafsir dan Hadis. Udah kayak main game, levelnya naik terus. Selesai S2, pulang ke Indonesia, langsung jadi dosen, guru besar, dan—ini yang bikin bangga—Imam Besar Masjid Istiqlal. Sempat juga lanjut S3 di India. Gokil, kan?

Tapi, yang bikin Kiai Ali beda dari ulama lain bukan cuma gelar akademiknya. Beliau punya filosofi hidup yang nyeleneh tapi dalem: “Jangan mati sebelum jadi penulis.” Makanya, karya tulisnya bejibun. Dari soal hadis, aqidah, fiqh, sampai dakwah. Judul-judul bukunya kadang bikin kening berkerut, tapi isinya? Bikin mikir dan kadang ngakak sendiri. Salah satu yang terkenal: “Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan”. Coba deh baca, dijamin nggak ngantuk.

Ngomongin soal guru, Kiai Ali punya banyak panutan. Di Tebuireng, beliau belajar sama kiai-kiai senior. Tapi yang paling berpengaruh, katanya, Muhammad Mustafa Al-A’dzami. Dari beliau, Kiai Ali belajar semangat menulis dan sikap kritis ke orientalis. Jadi, kalau sekarang ada yang suka debat soal hadis di medsos, bisa jadi itu efek domino dari pemikiran Kiai Ali.

Metode memahami hadis ala Kiai Ali juga unik. Ada tiga: pertama, gabungin pemahaman tekstual dan kontekstual. Kedua, kumpulin hadis tematik biar gampang diteliti sanad dan matannya. Ketiga, metode kontroversialitas—kalau ada hadis yang kayaknya “bentrok” sama logika, beliau punya cara sendiri buat nyari jalan tengah. Kadang, caranya lebih ribet dari skripsi mahasiswa, tapi hasilnya? Bikin adem.

Yang paling keren, Kiai Ali nggak takut beda pendapat. Baik lewat tulisan, ceramah, atau diskusi, beliau selalu berani tampil dengan argumen yang tajam tapi tetap santun. Nggak heran, beliau dijuluki ahli hadis kontemporer. Sampai akhir hayatnya, beliau masih aktif ngajar, ngisi pengajian, dan ngasuh pesantren. Bahkan, wafatnya pun di hari Kamis Subuh, 28 April 2016, pas lagi sibuk ngurus ilmu.

Buat santri dan pecinta ilmu, Kiai Ali itu inspirasi. Bukan cuma soal hafalan hadis, tapi juga soal semangat belajar, menulis, dan nggak gampang puas. Filosofinya sederhana: hidup itu harus bermanfaat, minimal lewat tulisan. Jadi, kalau kamu lagi galau nulis makalah atau skripsi, inget pesan Kiai Ali: “Jangan mati sebelum jadi penulis.”

Akhir kata, hidup Kiai Ali Mustafa Yaqub itu bukti kalau jadi ulama nggak harus kaku dan jauh dari realita. Santai boleh, tapi tetap kritis dan produktif. Siapa tahu, suatu hari nanti, kamu juga bisa jadi ulama yang namanya disebut-sebut di seminar—atau minimal, di grup WhatsApp keluarga.


Artikel ini ditulis buat kamu yang butuh inspirasi dari ulama Indonesia. Kalau Kiai Ali aja bisa produktif dan santai, masa kamu nggak?

Terkait

Lihat Semua