Kalau ngomongin intelektual Islam kontemporer, nama Hassan Hanafi itu kayak bumbu rahasia di dapur pemikiran dunia Islam. Nggak semua orang ngerti, tapi yang ngerti pasti ketagihan. Bayangin, dari Kairo, Mesir, lahir seorang filsuf yang idenya bisa bikin para akademisi garuk-garuk kepala—antara kagum, bingung, dan pengen debat.
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935. Dari kecil udah akrab sama dunia ngaji. Bayangin bocah lima tahun, udah duduk manis di depan Shaikh Sayyid, belajar Al-Qur’an. Tapi hidupnya nggak cuma soal ngaji. Hanafi kecil juga sempat pindah-pindah sekolah, dari Madrasah Sulaiman Gawiys ke al-Muallimin, lalu ke Madrasah al-Silahdar. Mungkin kalau zaman sekarang, dia udah jadi langganan ranking paralel.
Masuk kuliah, Hanafi milih jurusan filsafat di Universitas Kairo. Di sini, dia mulai unjuk gigi. Hampir semua makalahnya dapat nilai summa cum laude. Salah satu yang paling diingat: makalah tentang Teori Pengetahuan dan Kebahagiaan menurut al-Ghazali. Udah kayak mahasiswa abadi, tapi versi genius.
Setelah lulus, Hanafi nggak puas cuma jadi bintang kampus lokal. Dia lanjut S2 dan S3 di Sorbonne, Paris. Nah, di sinilah otaknya makin “meledak”. Disertasinya setebal 900 halaman—judulnya aja udah bikin ngos-ngosan: “L Exegeses de la Phenomenologie: Letat Actuael de la Methode Phenomenologie et Son Application an Phenomena Religuex”. Intinya, dia berusaha mempertemukan ushul fiqih dengan fenomenologi ala Husserl. Coba bayangin, ngopi bareng Husserl dan Imam Syafi’i di satu meja. Seru, kan?
Disertasi itu nggak cuma jadi pajangan di rak. Akademisi Mesir sampai kasih penghargaan sebagai karya terbaik tahun 1961. Dari situ, Hanafi makin dikenal sebagai intelektual yang nggak takut beda. Dia sering banget “nyebrang” antara tradisi Islam dan pemikiran Barat. Kadang bikin orang Mesir sendiri geleng-geleng kepala.
Hanafi juga dikenal produktif nulis buku. Beberapa karyanya yang terkenal: “Heritage and Renewal”, “From Creed to Revolution”, “Encyclopedia of Arab-Islamic Civilization”, dan “From Transport to Creativity”. Judul-judulnya aja udah kayak kode sandi buat para pemikir.
Tapi, jangan kira hidupnya cuma dihabiskan di ruang baca. Hanafi juga aktif ngajar di Universitas Kairo, jadi profesor filsafat sejak 1967. Dia juga sering diundang ke berbagai forum internasional. Pernah dapat Penghargaan Negara dalam Ilmu Sosial (2009) dan Penghargaan Nil (2015). Kalau di Indonesia, mungkin udah setara sama gelar “Guru Bangsa”.
Yang bikin Hanafi beda adalah keberaniannya mengkritik dan menawarkan pembaruan. Dia nggak puas dengan status quo. Menurutnya, Islam harus terus diperbarui, bukan sekadar diwariskan. “Heritage and Renewal” jadi semacam manifesto: warisan itu penting, tapi harus diolah biar relevan dengan zaman.
Banyak yang suka, banyak juga yang nyinyir. Tapi begitulah nasib pemikir besar. Kadang dicintai, kadang dibenci, tapi selalu diperbincangkan. Hanafi sendiri pernah bilang, “Pemikiran itu harus berani menantang arus, kalau nggak, ya cuma jadi penonton sejarah.”
Hassan Hanafi wafat pada 21 Oktober 2021, di usia 86 tahun. Tapi ide-idenya masih hidup, terus menginspirasi, dan kadang bikin panas forum diskusi. Dari Kairo sampai Jakarta, dari kampus ke warung kopi, nama Hassan Hanafi tetap jadi bahan obrolan seru.
Jadi, kalau kamu lagi ngerasa hidup datar-datar aja, coba deh baca karya-karya Hassan Hanafi. Siapa tahu, otakmu jadi lebih lentur, dan hatimu makin terbuka sama perbedaan.
Wallahu a’lam.