Pernahkah kamu merasa sudah cukup tahu, sudah merasa aman di puncak ilmu, lalu tiba-tiba tersadar: ternyata hati bisa saja tergelincir? Ada satu nama dalam sejarah yang jadi cermin untuk kita semua—Bal’am bin Ba’ura. Ia bukan sekadar tokoh masa lalu, tapi peringatan hidup bagi siapa pun yang pernah merasa “sudah cukup alim”.
Bal’am dulu dikenal sebagai orang yang doanya selalu dikabulkan. Ilmunya tinggi, namanya harum. Tapi, semua itu runtuh hanya karena satu hal: ia membiarkan hawa nafsu menuntunnya, bukan lagi kebenaran.
Kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an, Q.S. Al-A’raf ayat 175. Allah mengingatkan, ada orang yang diberi ayat-ayat-Nya, lalu melepaskan diri dari kebenaran itu. Ia diikuti setan, dan akhirnya tersesat. Bal’am, yang awalnya menolak bujukan para pembesar kaumnya untuk mendoakan keburukan atas Nabi Musa, akhirnya goyah juga. Godaan dunia—harta, kedudukan, kekuasaan—mengalahkan keteguhan hatinya.
Bayangkan, seseorang yang tahu Ismul A’dzam, nama agung Allah, justru menggunakan ilmunya untuk menyesatkan. Ketika doanya tak lagi bisa melaknat Musa, ia malah merancang siasat licik: menjerumuskan Bani Israil ke dalam dosa. Akhirnya, bencana pun turun. Semua anugerah yang dulu ia miliki, hilang tak bersisa.
Kadang, kita juga begitu. Merasa sudah cukup tahu, sudah cukup benar, lalu lupa menjaga hati. Ilmu jadi alat untuk pamer, bukan untuk membimbing. Hawa nafsu menyusup diam-diam—melalui pujian, kekuasaan, atau sekadar ingin diakui.
Kisah Bal’am bin Ba’ura memang termasuk israiliyat, detailnya tak selalu pasti. Tapi pelajarannya jelas: ilmu tanpa integritas batin hanya akan menjerumuskan. Ukuran kemuliaan bukan pada banyaknya hafalan, tapi pada seberapa tulus hati menjaga niat.
Di zaman sekarang, saat semua orang bisa mengutip ayat dan hadis, kisah ini makin relevan. Jangan sampai kita mengulang tragedi Bal’am: dekat dengan Allah, tapi akhirnya jatuh karena tunduk pada bisikan nafsu.
Kamu, aku, kita semua—diberi nikmat ilmu bukan untuk sombong, tapi untuk terus belajar menjaga hati. Semoga ilmu yang kita pelajari jadi cahaya, bukan hijab yang menutupi jalan menuju-Nya.
Kamu berhak tumbuh dengan ilmu yang menuntun, bukan menyesatkan. Dan kamu tidak sendiri dalam perjalanan menjaga hati.