Coba bayangin, lu lagi di posisi paling sulit dalam hidup. Mau melakukan sesuatu yang udah direncanakan matang-matang, eh malah dihadang. Bukan dihadang satu dua orang, tapi sama kelompok yang jelas-jelas nggak suka sama lu. Terus gimana? Marah? Emosi? Atau malah ngeyel sampai terjadi keributan?
Nah, di sinilah keindahan akhlak Nabi Muhammad terlihat. Beliau punya cara yang beda banget—cara yang bikin orang-orang sampai sekarang masih kagum dan belajar dari kisahnya.
Suatu hari, Nabi Muhammad dan para sahabat berangkat dari Madinah dengan semangat tinggi. Tujuannya sederhana: melaksanakan umrah di Mekkah. Bayangkan aja, mereka udah persiapan dari jauh-jauh hari, hati udah dipenuhi kerinduan untuk beribadah di tanah suci. Tapi takdir berkata lain.
Di tengah perjalanan, rombongan Nabi dihadang kaum Quraish. Mereka bilang tegas: “Kalian nggak boleh masuk Mekkah. Nggak boleh umrah.”
Gimana rasanya? Udah jauh-jauh jalan, eh malah diusir. Kalau orang biasa mah, pasti udah naik pitam. Tapi Nabi Muhammad? Beliau justru menggelar dialog perdamaian.
“Kita bicara baik-baik,” kata Nabi. Dan dialog pun dimulai.
Dalam perundingan itu, mereka sepakat untuk membuat perjanjian damai. Gencatan senjata selama sepuluh tahun. Kedengarannya bagus kan? Tapi detail-detailnya… wah, bikin deg-degan.
Nabi menunjuk Ali sebagai juru tulis. Ali kan memang orang pinter, mahir diplomasi dan tulis-menulis. Nah, mulai deh drama yang bikin kita belajar tentang toleransi sejati.
Pertama, Nabi minta Ali menulis pembuka dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” Standar lah ya, seperti biasa. Eh, tapi kaum musyrik protes. “Kami nggak mau ada bismillah! Kami maunya ‘Bismika Allahumma’!”
Mereka nggak suka kata Rahman dan Rahim. Buat mereka, itu terlalu… Islami kali ya?
Tau nggak reaksi Nabi? Beliau bilang, “Ya udah, tulis aja kayak yang mereka mau.”
Ali shock. Dia nggak mau hapus bismillah. Tapi Nabi? Beliau maju sendiri dan menghapusnya dengan tangan beliau sendiri. Nggak masalah, kata beliau.
Tapi drama belum selesai. Ali mulai nulis lagi: “Ini perjanjian antara Muhammad Rasulullah dengan tokoh-tokoh Mekkah.”
Lagi-lagi protes datang. “Kami nggak mau ada kata ‘Rasulullah’! Kami kan nggak ngakuin dia sebagai utusan Allah!”
Dan lagi-lagi, Nabi dengan kelapangan hati yang luar biasa bilang, “Hapus aja. Ganti jadi ‘Muhammad putra Abdullah’.”
Subhanallah. Bayangin dong, gelar yang paling mulia buat seorang Nabi—“Rasulullah”—dengan mudahnya beliau lepaskan demi tercapainya perdamaian.
Tapi yang bikin Umar bin Khattab sampai nggak terima adalah poin perjanjian terakhir. Isinya kayak gini: “Kalau ada orang Mekkah yang ke Madinah buat masuk Islam, harus dikembalikan ke Mekkah. Tapi kalau ada orang Islam yang pergi ke Mekkah, nggak boleh dikembalikan ke Madinah.”
Umar langsung gusar. “Ini nggak adil, ya Rasulullah! Mereka main tipu!”
Tapi Nabi dengan tenang bilang, “Lapangkan dada, Umar. Terima aja perjanjian ini demi perdamaian. Nggak ada yang lebih indah dari perdamaian.”
Dan akhirnya, mereka pulang. Nggak jadi umrah. Diusir di gerbang Mekkah. “Pergi kalian, Muhammad! Tahun depan baru boleh umrah!”
Sakit hati? Pasti. Tapi Nabi Muhammad mengajarkan sesuatu yang lebih besar: toleransi bukan berarti lemah. Toleransi adalah mundur selangkah demi mencapai tujuan yang lebih besar, tanpa mengorbankan prinsip.
Loh kok bisa tanpa mengorbankan prinsip? Ya karena semua yang dinegosiasikan itu nggak berkaitan dengan ajaran agama. Itu cuma masalah diplomasi dan politik. Nabi tahu betul mana yang boleh dikompromikan dan mana yang nggak.
Profesor Quraish Shihab bilang, inilah yang dinamakan “al hanafiyyah al samhah”—ajaran agama yang lurus tapi penuh toleransi.
Dan tau nggak? Pelajaran ini juga diterapkan sama tokoh-tokoh Islam Indonesia waktu pembentukan Pancasila. Mereka rela menghapus tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari sila pertama. Kenapa? Karena mereka terinspirasi dari Nabi Muhammad yang juga pernah “menghapus tujuh kata” dalam perjanjian Hudaibiyah.
Toleransi itu bukan berarti lu setuju dengan semua hal. Toleransi itu menghormati perbedaan, meski lu nggak sependapat. Toleransi itu mundur selangkah untuk melangkah maju berkali-kali lipat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering banget menghadapi situasi seperti ini. Di kantor, di kampus, di rumah, bahkan di media sosial. Ada aja yang beda pendapat. Ada aja yang nggak sepaham.
Pertanyaannya: mau pilih jalan Nabi Muhammad atau jalan ego?
Jalan Nabi Muhammad itu lapang dada, mendahulukan harmoni tanpa mengorbankan prinsip. Jalan ego? Ya tau sendirilah—ribut, berantem, sampai putus hubungan.
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa toleransi sejati itu punya tujuan mulia: mencapai kebaikan yang lebih besar. Bukan toleransi buta yang asal nurut aja. Tapi toleransi cerdas yang tahu kapan harus mengalah dan kapan harus teguh.
Makanya, setiap kali lu menghadapi situasi sulit dengan orang yang beda pandangan, ingat kisah Hudaibiyah ini. Ingat bagaimana Nabi Muhammad memilih jalan damai meski harus “mengorbankan” kebanggaan sesaat.
Karena pada akhirnya, toleransi yang tulus selalu membuahkan hasil yang lebih manis. Dan sejarah membuktikan: perjanjian Hudaibiyah yang tadinya terlihat “merugikan” itu justru jadi pintu gerbang kemenangan Islam yang lebih besar.
Jadi, besok kalau ada yang beda pendapat sama lu, coba tanya diri sendiri: “Gue mau jadi kayak Nabi Muhammad yang bijak, atau mau jadi kayak orang yang gampang terpancing emosi?”
Pilihan ada di tangan lu. Tapi ingat, toleransi itu bukan tanda kelemahan—toleransi itu bukti kematangan jiwa.