Analisis Dunia Militer 24 July 2025

Rapuhnya Tentara Israel: Antara Kelelahan dan Krisis Moral

Rapuhnya Tentara Israel: Antara Kelelahan dan Krisis Moral
Bagikan:

Di balik sorotan media tentang kekuatan militer Israel, ada realitas yang jarang dibahas: rapuhnya mental dan fisik para tentaranya. Setelah lebih dari 650 hari perang tanpa jeda, hanya separuh tentara cadangan yang masih mematuhi panggilan wajib militer. Sisanya? Banyak yang memilih mundur, lelah, atau bahkan depresi.

Kelelahan yang Tak Terelakkan

Bayangkan, bertugas di garis depan selama berbulan-bulan, jauh dari keluarga, dengan tekanan sosial dan ekonomi yang terus menumpuk. Tak sedikit tentara yang akhirnya mengalami perceraian, depresi, bahkan kehilangan arah hidup. Salah satu komandan batalyon cadangan sampai mengundurkan diri, membuat satuan yang dipimpinnya bubar total. Ini bukan sekadar angka statistik, tapi potret nyata krisis kemanusiaan di tubuh militer.

Krisis Peralatan dan Moral

Kelelahan bukan hanya soal fisik. Banyak mekanisme militer yang rusak karena kekurangan kru pemeliharaan. Tank-tank yang seharusnya siap tempur justru mangkrak, dan para pengemudi mengeluhkan minimnya fasilitas. Celah di perbatasan pun makin lebar, mengancam kesiapan keamanan negara.

Di sisi lain, politisi justru sibuk menekan tentara untuk terus berperang, sembari berusaha meloloskan undang-undang yang membebaskan kelompok Haredim dari dinas militer. Ketimpangan ini menambah beban psikologis para prajurit yang merasa dikorbankan demi kepentingan politik.

Refleksi: Ketahanan Bukan Hanya Soal Senjata

Kisah rapuhnya tentara Israel mengingatkan kita bahwa kekuatan militer sejati bukan hanya soal jumlah senjata atau teknologi canggih, tapi juga ketahanan mental, moral, dan solidaritas. Ketika prajurit kehilangan makna dan dukungan, bahkan pasukan terkuat pun bisa runtuh dari dalam.

Di tengah konflik yang tak kunjung usai, semoga dunia bisa lebih jujur melihat sisi kemanusiaan dari setiap perang. Karena pada akhirnya, yang tersisa bukan hanya reruntuhan fisik, tapi juga luka batin yang sulit disembuhkan.


Artikel ini ditulis sebagai refleksi atas pentingnya ketahanan mental dan moral dalam menghadapi krisis, serta sebagai pengingat bahwa setiap perang selalu menyisakan korban di kedua belah pihak.

Terkait

Lihat Semua