Kita sering mendengar berita tentang anak-anak yang terjerumus ke dalam tindakan kriminal. Namun, pernahkah kamu bertanya, apa sebenarnya yang mendorong seorang anak melangkah ke jalan yang gelap itu? Jawabannya tidak selalu sesederhana pengaruh lingkungan atau kurangnya pendidikan formal. Ada satu faktor yang kerap luput dari perhatian: kedekatan emosional antara anak dan orang tua.
Bayangkan sebuah rumah yang sunyi, di mana percakapan antara ayah, ibu, dan anak hanya sebatas formalitas. Tidak ada tawa yang mengisi ruang makan, tidak ada diskusi hangat sebelum tidur. Anak tumbuh dalam keheningan, mencari makna dan validasi di luar rumah. Di sinilah celah itu muncul—ketika keluarga gagal menjadi “rumah” yang sesungguhnya, anak pun mencari pelarian di tempat lain, kadang pada lingkungan yang salah.
Psikolog anak dan keluarga, Sani B. Hermawan, pernah menyoroti fenomena ini. Menurutnya, anak adalah peniru ulung. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di sekitar mereka. Jika rumah hanya menjadi tempat singgah, bukan ruang tumbuh, maka nilai-nilai yang seharusnya ditanamkan orang tua akan mudah tergantikan oleh pengaruh luar. Sani menegaskan, “Kurangnya kegiatan bersama anak, sehingga nilai baik yang diajarkan orang tua tidak sampai ke anak. Bahkan anak lebih menyerap nilai-nilai yang dianut lingkungan yang salah dari yang dia tonton atau dari pengaruh orang.”
Menariknya, banyak orang tua merasa sudah cukup hadir secara fisik, padahal kehadiran emosional jauh lebih penting. Anak yang merasa didengar, dihargai, dan dipahami akan lebih mudah membangun prinsip hidup yang kuat. Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa kedekatan emosional cenderung rapuh dalam menghadapi tekanan dan godaan. Mereka mudah goyah, apalagi ketika keinginan tidak terpenuhi atau emosi memuncak.
Mari kita refleksikan, seberapa sering kita benar-benar mendengarkan anak? Bukan sekadar menanyakan PR atau nilai ujian, tapi memahami kegelisahan, harapan, dan ketakutan mereka. Dalam Islam, membangun komunikasi yang hangat dan terbuka adalah bagian dari amanah orang tua. Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sangat dekat dengan anak-anak, bahkan tak segan bercanda dan mendengarkan keluh kesah mereka. Ini bukan sekadar teladan, tapi juga strategi preventif agar anak tidak mencari pelarian di luar rumah.
Tentu, membangun kedekatan tidak selalu mudah. Ada kalanya orang tua merasa lelah, sibuk, atau bahkan canggung memulai percakapan. Namun, bukankah lebih baik berlelah-lelah membangun hubungan daripada menyesal di kemudian hari? Kedekatan emosional adalah investasi jangka panjang. Ia tidak hanya mencegah anak terjerumus ke dunia kriminal, tapi juga membentuk karakter dan kepribadian yang tangguh.
Sani juga menekankan pentingnya kolaborasi antara orang tua dan guru. Lingkungan sekolah dan pergaulan teman sebaya adalah dua dunia yang sangat memengaruhi anak. Dengan membangun komunikasi yang baik dengan guru, orang tua bisa lebih memahami dinamika yang dihadapi anak di luar rumah. Ini bukan soal mengawasi secara berlebihan, tapi menciptakan ekosistem yang mendukung tumbuh kembang anak secara holistik.
Ada satu analogi menarik: membesarkan anak itu seperti menanam pohon. Jika akar tidak kuat, pohon mudah tumbang diterpa angin. Begitu pula anak, jika tidak memiliki akar nilai yang kokoh dari keluarga, ia mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar. Maka, tugas kita bukan hanya memberi pupuk berupa materi, tapi juga menyirami dengan kasih sayang, perhatian, dan waktu berkualitas.
Dalam praktiknya, membangun kedekatan bisa dimulai dari hal-hal sederhana: makan bersama tanpa distraksi gawai, berbagi cerita sebelum tidur, atau sekadar berjalan-jalan santai di akhir pekan. Jangan remehkan kekuatan momen-momen kecil ini. Di sanalah anak belajar tentang empati, kejujuran, dan keberanian mengambil keputusan.
Namun, bagaimana jika anak sudah terlanjur terjerumus? Jangan buru-buru menyalahkan atau menghakimi. Setiap anak punya potensi untuk berubah, asalkan diberi kesempatan dan dukungan yang tepat. Dalam Islam, pintu taubat selalu terbuka. Orang tua bisa menjadi jembatan bagi anak untuk kembali ke jalan yang benar, bukan dengan ancaman, tapi dengan pelukan dan doa yang tulus.
Pada akhirnya, mencegah anak terjerumus ke dunia kriminal bukan hanya soal mengawasi, tapi membangun kedekatan yang autentik. Ini adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan, tapi juga penuh harapan. Mari kita jadikan rumah sebagai tempat paling nyaman bagi anak untuk pulang, bercerita, dan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
Jadi, sudahkah kita benar-benar dekat dengan anak hari ini? Atau jangan-jangan, kita terlalu sibuk hingga lupa bahwa kedekatan adalah benteng pertama dari segala bentuk kejahatan? Mari refleksikan bersama, karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil di rumah sendiri.