Dunia Islam Sejarah 24 July 2025

Larangan Buku Sejarah Palestina di Yordania

Larangan Buku Sejarah Palestina di Yordania
Bagikan:

Larangan sebuah buku sejarah di sebuah negara bukanlah sekadar peristiwa administratif. Ia adalah cermin dari dinamika kekuasaan, kecemasan kolektif, dan—kadang—upaya menata narasi sejarah sesuai kepentingan penguasa. Baru-baru ini, Yordania menjadi sorotan setelah melarang peredaran buku “Ringkasan Kisah Palestina” karya sejarawan Mesir, Muhammad Elhamy. Keputusan ini menimbulkan gelombang diskusi, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat luas yang peduli pada sejarah dan kebebasan intelektual.

Bayangkan suasana pagi di Amman, ibu kota Yordania. Di sebuah kafe kecil, sekelompok mahasiswa duduk melingkar, membahas berita yang baru saja viral di media sosial. Salah satu dari mereka, Lina, mengangkat ponselnya dan membaca cuitan Elhamy, sang penulis buku yang kini dilarang. “Hari ini, saya mengonfirmasi bahwa rezim Yordania telah melarang buku saya…” Suara Lina terdengar pelan, namun penuh makna. Teman-temannya saling pandang, mencoba mencerna makna di balik larangan tersebut.

Larangan ini bukan yang pertama. Buku “Ringkasan Kisah Palestina” telah lebih dulu dilarang di beberapa negara lain. Namun, bagi Elhamy, setiap larangan justru menjadi semacam “penghargaan”. Ia menulis, “Sesungguhnya, larangan ini memuliakan saya. Saya berdoa agar ini menjadi pertimbangan saya di Hari Kiamat.” Ada nada pasrah sekaligus bangga dalam pernyataannya—sebuah sikap yang tidak asing dalam sejarah para penulis besar yang karyanya dianggap berbahaya oleh penguasa.

Mengapa sebuah buku bisa dianggap berbahaya? Dalam kasus ini, jawabannya terletak pada narasi sejarah yang dibawa Elhamy. Buku tersebut, menurut pengakuannya, adalah karya yang paling banyak diterjemahkan dari semua tulisannya. Ia telah tersebar dalam berbagai bahasa, bahkan tersedia dalam format audio dan video. Bagi sebagian orang, buku ini adalah sumber pengetahuan alternatif tentang sejarah Palestina—sebuah topik yang selalu sensitif di Timur Tengah.

Di sisi lain, pemerintah Yordania tampaknya melihat buku ini sebagai ancaman. Elhamy menuduh rezim Yordania “membantu melikuidasi perjuangan Palestina, menusuk Kekhalifahan Ottoman dari belakang, dan masih memainkan peran utama dalam pengepungan Palestina.” Pernyataan ini tentu saja kontroversial, namun juga membuka ruang diskusi tentang peran negara-negara Arab dalam konflik Palestina.

Menariknya, Elhamy tidak gentar. Ia justru membagikan tautan unduhan bukunya dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. “Rezim seperti itu? Tidak mengherankan mereka melarang buku yang mengungkap bahkan sebagian kecil dari realitasnya, sementara kejahatannya memenuhi berjilid-jilid buku. Dan apa yang disembunyikan bahkan lebih buruk. Tetapi semuanya akan terungkap suatu hari nanti,” tulisnya. Ada keyakinan bahwa kebenaran, cepat atau lambat, akan menemukan jalannya.

Dialog Batin dan Refleksi

Kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa negara-negara tertentu begitu khawatir dengan narasi sejarah alternatif? Jawabannya tidak sederhana. Sejarah adalah alat kekuasaan. Dengan mengontrol narasi, penguasa bisa membentuk persepsi publik, menentukan siapa yang dianggap pahlawan dan siapa yang dicap pengkhianat. Dalam konteks Palestina, narasi sejarah menjadi sangat politis, karena menyangkut identitas, legitimasi, dan masa depan sebuah bangsa.

Di tengah perdebatan ini, kita diingatkan pada pentingnya literasi sejarah. Membaca buku seperti karya Elhamy bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis. Kita belajar untuk tidak menerima begitu saja narasi yang disodorkan, melainkan mengujinya dengan data, logika, dan—tentu saja—hati nurani.

Suasana dan Percakapan

Di sudut lain kota, seorang dosen sejarah, Dr. Fathi, menggelar diskusi kecil bersama murid-muridnya. “Larangan buku bukan hal baru dalam sejarah umat manusia,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi setiap larangan justru menambah daya tarik buku itu sendiri. Pernah dengar istilah Streisand Effect?” Para mahasiswa tertawa kecil, memahami maksud sang dosen. Mereka lalu berdiskusi tentang bagaimana larangan justru bisa memperluas jangkauan sebuah ide.

“Tapi, Pak, bukankah ada risiko jika informasi yang tersebar tidak akurat?” tanya salah satu mahasiswa. Dr. Fathi mengangguk. “Tentu saja. Karena itu, tugas kita bukan hanya membaca, tapi juga memverifikasi. Jangan mudah terprovokasi, tapi juga jangan takut mencari kebenaran.”

Analogi dan Insight

Larangan buku bisa diibaratkan seperti menutup jendela di siang hari. Cahaya mungkin terhalang, tapi bukan berarti matahari berhenti bersinar. Informasi akan selalu menemukan jalannya, apalagi di era digital. Elhamy sendiri membuktikan hal ini dengan membagikan bukunya secara daring. Di sisi lain, larangan semacam ini juga menjadi pengingat bahwa kebebasan intelektual tidak pernah datang tanpa perjuangan.

Sebagai pembaca, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi konsumen pasif atau pencari kebenaran aktif. Dalam tradisi Islam, mencari ilmu adalah kewajiban. Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Larangan buku, dalam konteks ini, justru menjadi tantangan untuk semakin giat mencari pengetahuan.

Penutup: Ajakan Refleksi

Akhirnya, larangan buku sejarah di Yordania bukan sekadar berita. Ia adalah cermin dari dinamika kekuasaan, tantangan kebebasan intelektual, dan—yang terpenting—ajakan untuk terus berpikir kritis. Kita tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan penguasa, tapi kita bisa memilih untuk tetap mencari kebenaran, membaca dengan kritis, dan berdiskusi dengan terbuka. Karena pada akhirnya, sejarah bukan hanya milik mereka yang berkuasa, tapi juga milik kita semua yang peduli pada kebenaran.

Terkait

Lihat Semua