Kamu pernah membayangkan, bagaimana rasanya menjadi istri seorang pejuang yang harus berpindah tempat hampir lima puluh kali dalam empat belas tahun? Kisah Latifa al-Droubi, Ibu Negara baru Suriah, adalah narasi tentang ketabahan, cinta, dan pengabdian yang melampaui batas-batas istana.
Lahir dari keluarga ulama di Al-Qaryatayn, Homs, Latifa tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi ilmu dan nilai-nilai keislaman. Kecintaannya pada sastra membawanya menempuh Magister Sastra Arab di Universitas Damaskus, di mana ia bertemu Ahmad al-Sharaa—aktivis muda yang kelak menjadi Presiden interim Suriah. Pernikahan mereka diwarnai ujian berat: sejak konflik sipil pecah, Latifa memilih setia mendampingi suami dalam pelarian, berpindah dari gua, rumah petani, hingga kandang ayam.
Empat belas tahun hidup dalam senyap, Latifa bukan hanya saksi, tapi juga pelaku sejarah. Ia bukan figur glamor, melainkan simbol keteguhan perempuan Muslimah yang rela berkorban demi keluarga dan bangsa. Dalam Islam, peran istri bukan sekadar di belakang suami, tapi berjalan di sampingnya—seperti yang diungkapkan Ahmad al-Sharaa, “Tanpa dia, aku takkan selamat dari perang—secara politik maupun emosional. Ia bukan di belakangku. Ia berjalan di sampingku.”
Ketika akhirnya Ahmad al-Sharaa dilantik sebagai Presiden interim, Latifa tampil di panggung diplomatik dengan kesederhanaan dan wibawa. Ia mendampingi suami umrah ke Makkah, bertemu tokoh-tokoh dunia, dan menyapa rakyat Suriah dengan pesan yang menyentuh: “Saya bukan Ibu Negara dari istana. Saya adalah istri dari lelaki biasa yang pernah tidur di tanah dan makan roti kering bersama kalian.”
Kehadiran Latifa menjadi inspirasi bagi perempuan Suriah pascaperang—kuat, berpendidikan, dan tetap menjaga nurani sosial. Ia menegaskan, negara bukanlah istana, melainkan rakyat: janda, yatim, guru yang tetap mengajar meski tak digaji. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, dan Latifa memilih melayani, bukan dilayani.
Kisah Latifa al-Droubi mengajarkan kita tentang makna kesetiaan, pengorbanan, dan kekuatan perempuan dalam menghadapi ujian hidup. Ia adalah teladan bahwa cinta dan iman bisa menjadi sumber kekuatan di tengah badai. Sebagai penutup, mari kita refleksikan: sudahkah kita menghargai peran perempuan di sekitar kita, dan menjadikan ketabahan mereka sebagai inspirasi dalam membangun keluarga dan masyarakat?