Kamu pernah bertanya-tanya, mengapa istilah “bid’ah” selalu memicu perdebatan di tengah umat Islam? Kata ini memang sarat makna—mulai dari inovasi, perubahan, hingga perkara baru dalam agama. Namun, di balik perbedaan pendapat, ada pelajaran penting tentang bagaimana kita memahami tradisi dan perubahan dalam Islam.
Secara bahasa, bid’ah berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam Al-Qur’an dan hadist, istilah ini sering dikaitkan dengan perkara baru yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Namun, para ulama berbeda pendapat: ada yang memaknai bid’ah secara tegas sebagai kesesatan, ada pula yang membaginya menjadi bid’ah hasanah (baik) dan madzmumah (tercela).
Perbedaan ini bukan sekadar soal dalil, tapi juga soal cara pandang. Sebagian orang melihat bid’ah dari sisi sosiokultural—bagaimana tradisi baru muncul karena kebutuhan zaman. Ada pula yang menekankan pentingnya konteks, bahwa tidak semua hal baru itu buruk, selama tidak bertentangan dengan prinsip utama agama. Misalnya, penggunaan teknologi untuk dakwah atau pengajaran ilmu nahwu yang tidak ada di masa Nabi, tapi kini menjadi kebutuhan.
Dalam diskusi keagamaan, bid’ah sering menjadi topik hangat karena menyentuh akar identitas dan otoritas keagamaan. Ada yang kukuh menolak segala bentuk bid’ah, ada yang lebih moderat dan membuka ruang ijtihad. Perbedaan ini wajar, karena Islam sendiri memberi ruang bagi ijtihad dan adaptasi selama tidak melanggar syariat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
Namun, para ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Nawawi membedakan antara bid’ah yang menyesatkan dan bid’ah yang bermanfaat. Mereka menekankan pentingnya niat, tujuan, dan dampak dari setiap inovasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan: mempertahankan tradisi atau menerima perubahan. Islam mengajarkan keseimbangan—memegang teguh prinsip, tapi juga terbuka pada kebaikan baru.
Sebagai penutup, mari kita refleksikan: sudahkah kita bijak dalam menyikapi perbedaan, dan mampu membedakan antara inovasi yang membawa maslahat dan yang justru menyesatkan? Dengan ilmu, adab, dan sikap terbuka, insya Allah kita bisa menjaga kemurnian ajaran sekaligus merespons tantangan zaman.