Kamu pernah merenung, apa sebenarnya makna “dzalim” dalam Islam? Kata ini sering kita dengar, tapi jarang benar-benar dipahami secara mendalam. Dalam Al-Qur’an, dzalim disebutkan ratusan kali, menandakan betapa pentingnya konsep keadilan dan bahaya kegelapan hati dalam kehidupan seorang Muslim.
Secara bahasa, dzalim berasal dari akar kata yang bermakna kegelapan pekat. Dalam bahasa Arab, الظُّلمُ berarti ketidakadilan, melampaui batas, atau mengambil hak orang lain tanpa izin. Esensinya, dzalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya—baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun agama.
Kegelapan dzalim bukan hanya soal fisik, tapi juga kebutaan hati dan mata batin. Orang yang berbuat dzalim hidup dalam kegelapan, menutup diri dari cahaya kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari, dzalim bisa berupa mengambil hak orang lain, memberikan amanah pada yang tidak layak, atau melanggar batas yang telah ditentukan Allah.
Islam membagi kedzaliman menjadi tiga: pertama, syirik—menyekutukan Allah, dosa terbesar yang tidak diampuni kecuali dengan taubat. Kedua, dosa kepada diri sendiri, seperti meninggalkan kewajiban atau bermaksiat. Ketiga, dzalim kepada sesama, yang paling berat karena hak orang yang dizalimi akan dikembalikan di Hari Kiamat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
Kedzaliman, sekecil apapun, adalah beban yang harus dihindari. Syirik merusak hubungan dengan Allah, dosa kepada diri sendiri menodai jiwa, dan dzalim kepada sesama melukai tatanan sosial. Islam menekankan pentingnya meminta maaf dan memperbaiki kesalahan sebelum terlambat.
Sebagai penutup, mari kita refleksikan: sudahkah kita berlaku adil dalam setiap aspek kehidupan? Dengan menjaga hati dari kegelapan dzalim, insya Allah kita bisa menjadi pribadi yang lebih jernih, adil, dan membawa cahaya kebaikan bagi sekitar.