Umum 23 July 2025

Hari Arafah: Ketika Jutaan Manusia Belajar Jadi Setara

Hari Arafah: Ketika Jutaan Manusia Belajar Jadi Setara
Bagikan:

Bayangin jutaan manusia dari berbagai negara, dengan latar belakang ekonomi yang beda-beda, profesi yang beragam, berkumpul di satu padang luas. Yang kaya dan yang miskin pakai pakaian yang sama. Yang pejabat dan yang rakyat jelata berdiri sejajar. Nggak ada yang bisa bedain siapa bos, siapa karyawan. Semua sama-sama berkeringat di bawah terik matahari Arafah.

Itulah pemandangan luar biasa yang terjadi setiap tahun di Padang Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah. Hari yang dalam Islam disebut sebagai puncak ibadah haji. Tapi kalau dipikir-pikir, apa sih yang bikin jutaan orang rela capek-capek datang ke padang tandus di tengah gurun Arab, cuma buat berdiri dari pagi sampai magrib?

Ternyata, di balik kesederhanaan wukuf Arafah, ada makna yang luar biasa dalam banget. Bukan cuma soal ritual keagamaan, tapi juga pelajaran hidup yang bisa bikin kita mikir ulang tentang arti kesetaraan, persatuan, dan refleksi diri.

Kata “Arafah” sendiri berasal dari akar kata Arab “‘arafa” yang artinya mengenal atau menyadari. Konon, di tempat inilah Nabi Adam dan Hawa ketemu lagi setelah terpisah sejak diturunkan dari surga. Mereka saling ta’arafa—saling mengenal—setelah sekian lama berpisah.

Kisah pertemuan Adam dan Hawa ini bikin kita mikir: seberapa sering kita bener-bener “mengenal” orang-orang di sekitar kita? Bukan cuma tau namanya, profesinya, atau asal daerahnya. Tapi bener-bener memahami mereka sebagai sesama manusia yang punya perasaan, harapan, dan perjuangan hidup yang sama.

Di zaman sekarang, kita hidup di era media sosial di mana semua orang seolah-olah “kenal” satu sama lain. Tapi ironisnya, kita makin jauh dari kedekatan yang sejati. Kita lebih sering stalking Instagram orang lain daripada nanya kabar tetangga sebelah. Kita lebih update sama drama artis daripada peduli sama tetangga yang lagi susah.

Arafah mengajarkan kita untuk kembali ke esensi ta’aruf yang sejati. Saling mengenal bukan untuk menghakimi atau membanding-bandingkan, tapi untuk memahami dan bersatu dalam kemanusiaan.

Pemandangan paling menakjub di Arafah adalah ketika semua orang—tanpa peduli status sosial—berdiri sejajar dalam pakaian ihram yang sama. Presiden dan tukang becak, pengusaha dan buruh, semua terlihat sama. Nggak ada yang bisa sombong dengan kemewahan duniawi karena semuanya “stripped down” jadi hanya manusia biasa.

Ini kayak reminder terbesar bahwa semua superioritas yang kita banggakan di dunia itu sebetulnya cuma ilusi. Mobil mewah, rumah besar, jabatan tinggi, followers Instagram yang jutaan—semuanya nggak ada artinya kalau kita nggak punya isi.

Di Arafah, yang dihitung cuma satu: seberapa bersih hati kita dan seberapa tulus doa kita. Nggak ada VIP area, nggak ada fast track, nggak ada privilege khusus. Yang ada cuma kesetaraan murni di hadapan Allah.

Bayangin kalau konsep ini diterapin di kehidupan sehari-hari. Gimana kalau di kantor, semua orang—dari OB sampai direktur—diperlakukan dengan rasa hormat yang sama? Gimana kalau di sekolah, guru nggak pilih kasih antara anak orang kaya dan anak orang biasa? Gimana kalau di masyarakat, kita nggak menghakimi orang lain berdasarkan tampilan atau status mereka?

Wukuf di Arafah juga mengajarkan kita tentang momentum refleksi. Dari pagi sampai magrib, jutaan orang berdiri dalam keheningan, merenung, dan berdoa. Mereka mikir ulang tentang hidup mereka, kesalahan yang pernah dilakukan, dan tekad untuk jadi lebih baik.

Di era yang serba cepat ini, kapan terakhir kali kita bener-bener punya “me time” untuk refleksi? Pagi bangun langsung cek HP, siang sibuk kerja, malam ngantuk langsung tidur. Hidup jadi kayak robot yang jalan otomatis tanpa pernah pause untuk mikir: “Gue mau jadi apa sih? Hidup gue udah bener belum? Apa yang mau gue perbaiki?”

Arafah ngasih kita template yang sempurna untuk refleksi. Nggak perlu nunggu haji, kita bisa bikin “Arafah moment” kita sendiri. Sisihkan waktu secara berkala—bisa seminggu sekali atau sebulan sekali—untuk duduk tenang dan mikir ulang arah hidup kita.

Yang menarik, Rasulullah pernah bilang bahwa puasa Arafah (bagi yang nggak lagi haji) bisa menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Subhanallah, satu hari puasa bisa “cleaning” dosa dua tahun!

Tapi jangan salah paham, ini bukan berarti kita jadi semena-mena berbuat dosa dengan dalih “ah, nanti puasa Arafah juga bisa dihapus.” Justru sebaliknya, Arafah mengajarkan kita pentingnya starting fresh dengan tekad yang kuat untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama.

Ini kayak reset button di game. Kalau kita udah terlanjur main dengan strategy yang salah dan nyawa udah tipis, ada kesempatan untuk restart dengan pengalaman yang lebih baik. Tapi tentu saja, restart ini akan sia-sia kalau kita tetep main dengan cara yang sama.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, Arafah juga punya pesan yang dalam. Di sana, orang Indonesia berdiri sebelahan dengan orang Malaysia, Pakistan, Nigeria, atau Arab Saudi. Mereka beda bahasa, beda budaya, beda warna kulit, tapi satu dalam tujuan spiritual.

Bayangkan kalau semangat ini bisa diterapkan dalam membangun Indonesia. Orang Jawa dan Batak, Dayak dan Bugis, yang Kristen dan yang Muslim, yang kaya dan yang miskin, semua bersatu dalam satu tujuan: membangun Indonesia yang lebih baik.

Tapi sayangnya, yang sering terjadi malah sebaliknya. Kita gampang terpecah belah gara-gara perbedaan politik, agama, atau suku. Padahal, kalau kita bisa punya mindset Arafah—saling mengenal, saling menghormati, dan fokus pada tujuan bersama—Indonesia bisa jadi negara yang luar biasa kuat.

Arafah juga ngajarin kita tentang kesabaran dan ketahanan. Bayangkan berdiri di bawah terik matahari dari pagi sampai sore, di padang yang tandus, dengan jutaan orang lain. Panas, haus, capek, tapi tetep bertahan karena ada tujuan yang lebih besar.

Ini kayak metafora kehidupan banget. Hidup itu memang nggak selalu enak. Ada masanya kita harus “berdiri” di tengah kesulitan, menahan panas masalah, dan tetep sabar menunggu saat yang tepat. Tapi kalau kita punya tujuan yang jelas dan hati yang kuat, kita bisa bertahan.

Yang paling bikin merinding adalah momen jelang magrib di Arafah. Jutaan orang bersiap-siap mengakhiri wukuf mereka. Ada yang nangis karena terharu, ada yang khusyuk berdoa, ada yang lega karena merasa dosanya sudah diampuni. Moment itu kayak climax dari perjalanan spiritual yang panjang.

Setelah magrib, mereka bergerak bersama-sama menuju Muzdalifah dalam keadaan yang disebut “nafrah” atau bergegas. Ini bukan lari-larian kayak orang kejar setoran, tapi gerakan yang penuh khidmat menuju tahap berikutnya.

Dalam hidup, setelah kita punya momen refleksi dan mendapat pencerahan, kita juga harus bergerak. Nggak cukup cuma diam dan merenung terus. Harus ada action, ada perubahan nyata, ada langkah maju menuju versi yang lebih baik dari diri kita.

Hari Arafah juga mengingatkan kita bahwa di atas semua perbedaan yang ada, kita semua adalah manusia dengan fitrah yang sama. Kita semua butuh cinta, pengakuan, dan makna dalam hidup. Kita semua pernah berbuat salah dan butuh kesempatan untuk memperbaiki diri.

Kalau aja semangat Arafah ini bisa dibawa pulang dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin dunia akan jadi tempat yang lebih indah. Mungkin kita akan lebih mudah memaafkan, lebih cepat membantu, dan lebih tulus dalam berbagi.

Jadi, meskipun nggak semua orang bisa ke Arafah secara fisik, kita semua bisa punya “pengalaman Arafah” dalam hidup kita. Caranya simpel: luangkan waktu untuk saling mengenal dengan lebih dalam, belajar memperlakukan semua orang dengan setara, dan rutin melakukan refleksi diri.

Dan yang paling penting, jangan lupa untuk bergerak setelah merenung. Karena Arafah yang sejati bukan cuma soal berdiri dan berdoa, tapi juga tentang komitmen untuk jadi manusia yang lebih baik setelahnya.

Wallahu a’lam.

Terkait

Lihat Semua