Di tengah derasnya arus globalisasi, ada satu pertanyaan yang kerap mengusik benak: bagaimana caranya menanamkan kecintaan pada warisan budaya kepada generasi muda? Di Abha, sebuah kota di dataran tinggi Arab Saudi, jawaban atas pertanyaan itu mulai dirajut melalui program Little Explorer. Program ini bukan sekadar agenda tahunan, melainkan sebuah upaya serius untuk menghubungkan anak-anak dengan akar identitas bangsa mereka—dengan cara yang menyenangkan, interaktif, dan penuh makna.
Bayangkan suasana di Al-Muftaha Village, di mana tawa anak-anak berpadu dengan semangat para pendidik yang sabar. Di sana, setiap sudut desa menjadi ruang belajar terbuka. Anak-anak diajak mengenal artefak, belajar menggali “harta karun” arkeologi, dan memahami pentingnya merawat peninggalan sejarah. Bukan sekadar teori, mereka benar-benar memegang alat, merasakan sensasi menjadi arkeolog cilik, dan berdiskusi tentang temuan mereka. Ada kebanggaan tersendiri ketika seorang anak berhasil menemukan pecahan tembikar kuno, lalu dengan penuh antusias menceritakan penemuannya kepada teman-teman.
Program ini dirancang agar anak-anak tidak hanya menjadi penonton, melainkan pelaku aktif dalam pelestarian budaya. Melalui berbagai workshop, permainan, dan simulasi, mereka belajar bahwa warisan bukan sekadar benda mati, melainkan bagian dari jati diri yang harus dijaga bersama. Salah satu momen menarik adalah ketika seorang fasilitator bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan artefak berharga?” Seorang anak menjawab dengan polos namun penuh makna, “Aku akan simpan baik-baik dan ceritakan ke semua orang supaya mereka tahu sejarah kita.” Jawaban sederhana ini mengandung filosofi mendalam tentang pentingnya berbagi pengetahuan dan menjaga amanah.
Tak hanya itu, Little Explorer juga menanamkan nilai tanggung jawab dan rasa ingin tahu. Anak-anak diajak untuk tidak sekadar kagum pada masa lalu, tetapi juga kritis dan kreatif dalam memaknai sejarah. Mereka belajar bahwa setiap artefak punya cerita, dan tugas merekalah untuk merangkai kisah itu agar tetap hidup di masa depan. Ada dialog batin yang tumbuh: “Bagaimana jika aku yang kelak menjadi penjaga warisan ini?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi benih yang kelak tumbuh menjadi pohon kebijaksanaan.
Kehadiran program semacam ini menjadi oase di tengah kekhawatiran akan pudarnya identitas budaya. Di era digital, di mana informasi begitu mudah diakses namun sering kali dangkal, pengalaman langsung seperti ini menjadi sangat berharga. Anak-anak tidak hanya belajar tentang sejarah, tetapi juga membangun karakter: rasa hormat, tanggung jawab, dan kebanggaan sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.
Dari sudut pandang Islam, menjaga warisan adalah bagian dari amanah. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan pentingnya menghormati peninggalan masa lalu sebagai pelajaran dan pengingat. Dalam konteks ini, Little Explorer bukan sekadar program edukasi, melainkan bentuk nyata dari implementasi nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari. Setiap langkah kecil yang diambil anak-anak di Abha adalah bagian dari perjalanan panjang membangun peradaban yang berakar kuat namun tetap terbuka pada perubahan.
Sebagai penutup, mari kita refleksikan: sudahkah kita memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengenal dan mencintai warisan budaya mereka? Program Little Explorer di Abha mengajarkan bahwa membangun identitas tidak harus kaku atau membosankan. Justru, dengan pendekatan yang hangat, kreatif, dan penuh empati, kita bisa menumbuhkan generasi yang tidak hanya bangga pada masa lalu, tetapi juga siap menghadapi masa depan dengan kepala tegak dan hati yang lapang.