Kamu mungkin sering mendengar kabar tentang kekuatan militer Israel yang digambarkan begitu solid dan tak terkalahkan. Namun, di balik narasi besar itu, ada realitas yang jarang diangkat ke permukaan: rapuhnya kondisi psikologis dan sosial para tentaranya. Mari kita telusuri lebih dalam, dengan sudut pandang yang lebih reflektif dan Islami, tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik barikade militer negeri tersebut.
Bayangkan, setelah lebih dari 650 hari perang tanpa jeda, hanya separuh dari tentara cadangan Israel yang masih mematuhi perintah wajib militer. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan kelelahan kolektif yang menggerogoti tubuh dan jiwa para prajurit. Seorang analis militer Israel, Doron Kadush, menyebutkan bahwa kelelahan ini telah menimbulkan dampak sosial yang nyata: perceraian, depresi, bahkan kehancuran satuan militer akibat pengunduran diri komandan.
Kondisi ini diperparah oleh beban tugas yang tersebar di berbagai front, mulai dari Suriah hingga Lebanon. Para tentara tidak hanya menghadapi musuh di medan perang, tapi juga musuh di dalam diri: keletihan, kecemasan, dan kehilangan makna. Salah satu perwira senior bahkan mengeluhkan kekurangan tank dan mekanisme militer yang rusak karena minimnya kru pemeliharaan. Seorang pengemudi tank berkata, “Kami tidak punya cukup alat untuk sekadar menjalankan tugas rutin.”
Di tengah situasi ini, politisi justru sibuk menekan agar perang terus berlanjut, sembari berupaya meloloskan undang-undang yang membebaskan kelompok Haredim (Yahudi ultra-Ortodoks) dari dinas militer. Ironis, bukan? Ketika sebagian masyarakat dipaksa memikul beban berat, sebagian lain justru dilindungi dari kewajiban yang sama.
Jika kita refleksikan dari sudut pandang Islam, kondisi ini mengingatkan pada pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pertahanan. Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya musyawarah, keadilan, dan kepedulian terhadap kesejahteraan pasukan. Dalam sejarah Islam, tentara yang kuat bukan hanya soal jumlah atau persenjataan, tapi juga kekuatan ruhani, solidaritas, dan keikhlasan dalam berjuang.
Kelelahan yang melanda tentara Israel hari ini adalah buah dari sistem yang abai pada aspek kemanusiaan. Ketika perang dijadikan agenda politik tanpa memperhatikan dampak psikologis dan sosial, maka yang lahir adalah generasi prajurit yang rapuh, mudah goyah, dan kehilangan arah. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua: kekuatan sejati tidak lahir dari paksaan, tapi dari kesadaran, keikhlasan, dan tujuan yang benar.
Mari kita bandingkan dengan kisah para sahabat Nabi ﷺ yang selalu mengedepankan musyawarah dan saling menguatkan di medan perang. Mereka tidak hanya berjuang secara fisik, tapi juga menjaga kesehatan mental dan spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Ayat ini menekankan pentingnya persiapan yang matang, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental dan spiritual. Kekuatan sejati adalah keseimbangan antara jasmani dan ruhani, antara strategi dan keikhlasan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan: di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh konflik, apa makna kekuatan sejati bagi kita? Apakah sekadar jumlah pasukan dan senjata, atau justru keteguhan hati, keadilan, dan solidaritas? Dunia boleh memuja kekuatan militer, tapi sejarah membuktikan, hanya pasukan yang berjuang dengan hati yang bersih dan tujuan yang benar yang akan bertahan.
Jika kamu ingin membaca artikel lain seputar refleksi dunia dan kekuatan spiritual, cek juga artikel kami tentang gaya hidup minimalis sebagai kunci kesehatan mental.