Bayangin deh, kamu lagi duduk di bawah langit malam Makkah, ditemani tiga sahabat yang sama-sama gelisah soal hidup. Di sekelilingmu, orang-orang sibuk dengan urusan dunia, tapi kalian berempat malah asyik ngobrolin makna hidup, Tuhan, dan kebenaran. Kebayang nggak sih, gimana rasanya jadi minoritas yang tetap teguh memegang tauhid di tengah lautan kemusyrikan?
Nah, kisah ini tentang empat sahabat Quraisy yang berani beda. Mereka nggak ikut-ikutan menyembah berhala, padahal hampir semua orang di sekitarnya melakukannya. Siapa aja mereka? Yuk, kita pelan-pelan masuk ke dalam kisahnya, ngerasain kegelisahan, pencarian, dan keteguhan hati mereka.
Malam di Makkah terasa berat. Udara panas, debu beterbangan, dan di tengah hiruk-pikuk pasar, suara orang-orang yang sedang tawaf di Ka’bah bercampur dengan siulan dan tepuk tangan. Tapi, bukan tepuk tangan bahagia. Ini tepuk tangan yang menggantikan zikir, menggantikan doa-doa yang dulu pernah diajarkan Nabi Ibrahim.
“Kok bisa ya, Ka’bah yang dulu jadi simbol tauhid, sekarang malah dikelilingi patung-patung?” gumam Zaid bin Amr bin Nufail, salah satu dari empat sahabat itu. Ia sering duduk bersandar di dinding Ka’bah, memperhatikan orang-orang yang tawaf tanpa sehelai benang pun, lalu menambah-nambahi talbiyah dengan kalimat syirik.
Bayangin, di tengah keramaian itu, Zaid merasa sendirian. Hatinya gelisah. “Ini bukan ajaran Ibrahim yang aku tahu,” bisiknya dalam hati. Ia tahu, jauh sebelum patung-patung itu didatangkan Amru bin Luhay, Makkah adalah kota yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah. Tapi waktu berjalan, tradisi berubah, dan kemurnian itu perlahan pudar.
Nggak cuma Zaid yang resah. Ada Warakah bin Naufal, Utsman bin Thalhah, dan Qis bin Sa’ilah. Mereka semua merasa ada yang salah. Tapi, apa yang bisa mereka lakukan? Melawan arus mayoritas bukan perkara gampang. Kadang, mereka cuma bisa saling pandang, saling menguatkan lewat tatapan penuh makna.
Suatu malam, keempatnya berkumpul di pinggiran kota. Angin gurun berhembus pelan, membawa debu dan harapan. “Kita nggak bisa terus begini,” kata Warakah pelan. “Aku ingin tahu, apa benar cuma patung-patung ini jalan menuju Allah?”
Akhirnya, mereka sepakat: harus ada yang mencari kebenaran ke luar Makkah. Utsman bin Thalhah dan Warakah bin Naufal memutuskan pergi ke negeri Syam. Di sana, mereka bertemu para pendeta Nasrani. Mereka bertanya, berdiskusi, bahkan sempat ingin memeluk agama Nasrani. Tapi, hati mereka tetap gelisah. Ada sesuatu yang belum klik.
Sementara itu, Zaid bin Amr memilih jalur berbeda. Ia pergi ke negeri Syam juga, tapi mencari pendeta Yahudi. “Bagaimana caranya aku bisa mengenal Allah dengan benar?” tanyanya. Tapi jawaban yang didapat malah aneh. “Kalau mau masuk Yahudi, kamu harus dimurkai Allah dulu, baru tobat, baru jadi Yahudi,” kata sang pendeta. Zaid geleng-geleng kepala. “Aku lari dari murka Allah, masa harus nyari murkaNya dulu?”
Nggak puas, Zaid lanjut ke pendeta Nasrani. Jawabannya mirip. “Kamu harus sesat dulu, baru tobat, baru jadi Nasrani.” Lagi-lagi, Zaid kecewa. “Aku cuma mau menyembah Allah yang Esa, tanpa sekutu. Agama Hanif, agama Ibrahim, itu yang aku cari.”
Akhirnya, Zaid kembali ke Makkah. Di tengah perjalanan, ia menengadah ke langit. “Ya Allah, aku bersaksi, aku beragama seperti Ibrahim. Aku nggak tahu caranya, tapi aku ingin memurnikan ibadah hanya untukMu.”
Setiap hari, Zaid duduk di dekat Ka’bah. Ia memperhatikan orang-orang Quraisy yang menambah-nambahi talbiyah dengan kalimat syirik. Begitu mereka sampai di bagian “la syarika lak”, Zaid langsung berteriak, “Cukup! Jangan disambung!”
Orang-orang marah. Ada yang melempar batu, ada yang mengusir Zaid. Tapi ia nggak peduli. “Tauhid harus dijaga. Ini ajaran Ibrahim!” batinnya. Kadang, ia berdiri di dekat orang-orang yang mau menyembelih hewan untuk berhala. “Jangan sembelih untuk patung! Sembelihlah hanya untuk Allah yang menciptakan hewan-hewan ini!” serunya.
Tapi, suara Zaid sering tenggelam di tengah keramaian. Daging sembelihan untuk berhala dibiarkan membusuk di dekat patung. Zaid hanya bisa mengelus dada. “Kapan Makkah kembali ke ajaran yang lurus?” pikirnya.
Sementara itu, Warakah bin Naufal tetap mencari. Ia akhirnya memilih untuk beriman kepada Allah, mengikuti ajaran yang diyakininya paling dekat dengan tauhid. Ia sempat bertemu Nabi Muhammad SAW, dan mengakui kenabian beliau. “Aku akan jadi penolongmu, wahai Muhammad, kalau aku masih hidup saat engkau diutus,” katanya. Tapi takdir berkata lain, Warakah wafat tak lama setelah itu.
Qis bin Sa’ilah, tokoh keempat, memilih jalan sunyi. Ia sering diusir dari Makkah karena menolak menyembah berhala. Akhirnya, ia hidup di padang pasir, berteman dengan hewan-hewan liar. Pernah suatu kali, orang Makkah ingin bertanya pendapatnya, tapi Qis sedang minum bersama singa-singa di genangan air. “Berikan temanmu minum,” katanya pada singa-singa itu. Bayangin, hidup seasing itu, tapi hatinya tetap tenang karena yakin dekat dengan Allah.
Utsman bin Thalhah, meski tak banyak riwayat tentangnya, juga dikenal sebagai orang yang menjaga kemurnian tauhid. Ia tak pernah sujud pada berhala, dan hatinya selalu gelisah melihat kemusyrikan di sekitarnya.
Keempat sahabat ini, meski jalannya berbeda-beda, punya satu tujuan: mencari kebenaran, menjaga tauhid, dan nggak mau ikut-ikutan arus mayoritas. Mereka rela jadi asing, demi keyakinan yang murni.
Zaid bin Amr wafat lima tahun sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat jadi nabi. Tapi, Rasulullah bersaksi, “Aku melihat Zaid di surga, mengenakan pakaian-pakaiannya.” Bahkan, Zaid akan dibangkitkan sebagai satu umat sendiri di hari kiamat. Warakah bin Naufal juga disebutkan Nabi sebagai penghuni surga, karena keimanannya yang tulus.
Kisah mereka jadi pelajaran buat kita. Kadang, kebenaran memang terasa sepi. Kadang, menjaga tauhid butuh keberanian untuk melawan arus. Tapi, Allah nggak pernah tidur. Setiap usaha menjaga kemurnian iman, sekecil apapun, pasti dihargai.
Coba kamu ada di posisi mereka. Berani nggak, jadi satu-satunya yang beda di tengah keramaian? Berani nggak, menolak ikut-ikutan cuma demi diterima? Kisah empat sahabat Quraisy ini ngajarin kita, bahwa jadi minoritas dalam kebenaran lebih mulia daripada mayoritas dalam kesesatan.
Malam di Makkah kembali sunyi. Tapi, di balik sunyi itu, ada cahaya kecil yang terus menyala. Cahaya tauhid, yang dijaga oleh empat sahabat luar biasa. Mereka mungkin nggak terkenal, nggak punya pengikut, tapi nama mereka diabadikan di surga.
Bayangin, kalau hari ini kamu merasa sendirian dalam kebaikan, ingatlah kisah mereka. Allah selalu bersama orang-orang yang tulus mencari kebenaran. Jangan takut jadi berbeda, asal berbeda karena iman.