Dunia hiburan kadang menjadi cermin realitas yang lebih tajam dari yang kita bayangkan. Serial “Bidaah” yang viral di Indonesia dan Malaysia bukan sekadar tontonan Ramadan biasa—ia mengangkat isu-isu sensitif yang, sayangnya, masih kita temukan dalam kehidupan nyata. Salah satu adegan yang paling mencuri perhatian adalah praktik meminum air bekas mandi guru untuk mencari berkah. Menggelitik sekaligus menggelisahkan, bukan?
Tabarruk: Antara Sunnah dan Serapah
Sebelum kita terjun lebih dalam, mari kita pahami dulu konsep tabarruk—sikap mengharap berkah melalui orang-orang saleh seperti nabi, wali, atau ulama. Dalam Islam, perilaku ini sebenarnya diperbolehkan, bahkan ada dasar hadisnya. Rasulullah SAW sendiri pernah mengambil air dari tempat bersuci umum dan meminumnya seraya berharap mendapatkan berkah dari bekas tangan-tangan umat Islam.
Namun, di sinilah letak krusialnya: tabarruk yang diperbolehkan adalah yang dilakukan kepada orang-orang saleh yang mengikuti sunnah Rasulullah, bukan kepada ahli bid’ah. Ini seperti memilih mentor—kamu tentu ingin belajar dari orang yang kredibel, bukan dari yang asal ngomong, kan?
Konsep berkah dalam Islam memang real, tapi ada aturan mainnya. Tidak semua yang diklaim sebagai “berkah” itu benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Kita perlu filter yang tajam untuk membedakan antara tradisi yang sahih dan praktik yang justru menyimpang.
Ketika Logika Bertemu Keyakinan
Nah, soal minum air bekas mandi guru ini, mari kita bedah dari berbagai sudut. Pertama, dari segi historis: apakah Rasulullah pernah melakukan ini? Jawabannya tegas: tidak. Bahkan ketika Rasulullah wafat, para sahabat yang sangat mencintai beliau tidak pernah meminum air bekas memandikan jenazahnya. Kalau mereka saja tidak melakukan, apa artinya?
Kedua, dari segi rasionalitas: mandi itu esensinya adalah membersihkan diri dari kotoran dan najis. Jadi, air bekas mandi sudah pasti tercampur dengan hal-hal yang seharusnya kita hindari. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa Allah mengharamkan al-khabaith (hal-hal yang buruk/kotor) untuk dikonsumsi.
Syekh al-Baijuri bahkan mengingatkan bahwa meyakini sesuatu datang selain dari Allah bisa dikategorikan sebagai perbuatan kufur. Ini bukan main-main, lho. Ketika kita meyakini bahwa air bekas mandi guru memiliki kekuatan gaib tertentu, tanpa sadar kita mungkin sudah melanggar prinsip tauhid.
Refleksi dari Layar ke Realitas
Serial “Bidaah” sebenarnya memberikan pelajaran berharga: pentingnya sikap kritis terhadap praktik-praktik yang mengatasnamakan agama tapi tidak punya landasan syariat yang jelas. Adegan kontroversial itu menjadi cerminan bagaimana penyimpangan bisa terjadi ketika seseorang mengikuti ajaran tanpa memverifikasi kebenarannya.
Dalam dunia nyata, fenomena semacam ini masih ada. Beberapa komunitas atau kelompok tertentu mungkin melakukan praktik-praktik aneh dengan dalih mencari berkah. Padahal, Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi akal sehat dan rasionalitas, tanpa mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas.
Kamu mungkin bertanya, “Lalu, bagaimana cara menghormati guru tanpa berlebihan?” Jawabannya sederhana: hormati dengan cara yang diajarkan Islam. Do’akan kebaikan untuk mereka, amalkan ilmu yang mereka ajarkan, dan jadilah murid yang baik. Bukan dengan cara-cara yang aneh dan tidak ada dasarnya.
Literasi Keagamaan sebagai Benteng
Salah satu hikmah terbesar dari kontroversi ini adalah urgensi literasi keagamaan yang kuat. Di era informasi seperti sekarang, kita mudah terpapar berbagai macam ajaran—yang benar maupun yang sesat. Tanpa bekal pengetahuan agama yang memadai, kita bisa terjebak dalam praktik-praktik yang justru menjauhkan dari ajaran Islam.
Literasi keagamaan bukan hanya soal hafalan ayat atau hadis, tapi juga kemampuan memahami konteks, menilai keshahihan, dan menerapkan ajaran dengan bijak. Ini seperti skill critical thinking dalam dunia akademik—sangat dibutuhkan untuk membedakan informasi yang valid dan yang tidak.
Para ulama terdahulu sudah memberikan kita panduan yang lengkap. Mereka tidak asal comot dalil, tapi meneliti dengan seksama, membandingkan berbagai pendapat, dan mengambil kesimpulan yang paling kuat argumentasinya. Sikap ilmiah seperti inilah yang perlu kita teladani.
Menuju Islam yang Rahmatan lil Alamiin
Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh alam. Ajaran-ajarannya dirancang untuk membawa kebaikan, kemudahan, dan berkah dalam hidup manusia. Praktik-praktik yang berlebihan, apalagi yang tidak ada dasarnya, justru bertentangan dengan semangat Islam yang rahmah ini.
Menghormati guru atau ulama itu baik dan dianjurkan. Tapi jangan sampai penghormatan itu berubah menjadi kultus individu yang berlebihan. Islam mengajarkan kita untuk menghormati manusia karena Allah, bukan menganggap manusia sebagai sumber berkah yang independen.
Jadi, mari kita ambil pelajaran dari serial “Bidaah” ini. Gunakan akal sehat yang Allah berikan, verifikasi setiap ajaran yang kita terima, dan jangan mudah terpancing dengan klaim-klaim berkah yang tidak jelas dasarnya. Karena pada akhirnya, berkah yang sejati datang dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan dari ritual-ritual yang dibuat-buat.
Artikel ini ditulis sebagai refleksi atas pentingnya sikap kritis dalam beragama dan urgensi literasi keagamaan di era modern.