Tahun 2025, tapi ternyata yang bikin gaduh bukan cuma politik, tapi juga… sound horeg! Serius, mimin kira yang bisa bikin telinga panas itu cuma debat di grup WhatsApp keluarga, eh ternyata ada juga yang lebih niat: parade sound system keliling yang volumenya bisa bikin burung-burung migrasi ganti rute.
Plot twist: sekarang, urusan sound horeg bukan cuma soal selera musik atau hiburan rakyat, tapi sudah naik kelas jadi urusan hukum dan fatwa. MUI Jawa Timur resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan sound horeg haram, apalagi kalau dipakai buat joget campur aduk tanpa sensor. Negara pun ikut nimbrung, Polda Jatim siap turun tangan. Jadi, kalau dulu yang ditakuti “ibu-ibu pengajian”, sekarang yang ditakuti “ibu-ibu penegak hukum”.
Tapi, mari kita bedah lebih dalam. Kenapa sih sound horeg ini jadi musuh bersama? Bukan sekadar soal “telinga sakit”, tapi ini cerminan budaya instan: hiburan harus heboh, harus viral, harus bikin tetangga nggak bisa tidur. Ironisnya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi adab, justru adab suara seringkali diabaikan. Kita sibuk debat soal moral, tapi lupa kalau hak orang lain buat istirahat juga bagian dari moralitas.
Analogi sederhananya: kayak ngajarin anak sopan santun, tapi tiap malam rumah sendiri jadi pusat konser dadakan. Atau, lebih parah lagi, kayak demo anti-polusi tapi sambil bakar ban di tengah jalan. Kontradiksi yang, sayangnya, sudah jadi tontonan sehari-hari.
Mimin nggak bilang semua hiburan itu salah. Sound system di acara mantenan, pengajian, shalawatan? Monggo, asal nggak bikin kuping tetangga jadi korban. Tapi kalau sudah masuk ranah sound horeg—yang identik dengan joget bebas, aurat terbuka, dan kebisingan tanpa batas—ya wajar kalau akhirnya kena semprit, baik dari ulama maupun aparat.
Mungkin ini saatnya kita, warga yang waras, mulai refleksi: hiburan itu hak, tapi jangan sampai jadi bencana sosial. Kalau mau happy, jangan sampai bikin orang lain stress. Dan buat para pelaku usaha, yuk inovasi: bikin hiburan yang tetap asyik tanpa harus mengorbankan ketenangan lingkungan.
Jadi, pertanyaannya: mau sampai kapan kita jadi bangsa yang lebih bangga “nge-bass” daripada “nge-bahas” solusi? Kalau nggak mulai dari sekarang, kapan? Kalau nggak mulai dari kita, siapa?
Menurut kalian, gimana cara bikin hiburan tetap seru tanpa harus merugikan orang lain? Share opini cerdas kalian di kolom komentar, siapa tahu bisa jadi inspirasi perubahan 💭