Namanya memang terdengar sederhana—pisah ranjang. Tapi, siapa sangka, di balik kata-kata itu, ada hati yang remuk, ada perasaan yang seolah-olah diasingkan di rumah sendiri.
Kamu mungkin pernah mendengar ungkapan, “Aku nggak mau lagi tidur seranjang denganmu.” Atau, lebih halus, “Mulai malam ini, kita pisah tempat tidur saja.” Bagi sebagian orang, ini cuma masalah sepele. Tapi buat yang mengalaminya, rasanya seperti ditinggalkan di tengah keramaian, sendirian, tanpa pelukan, tanpa pengakuan.
Dalam sejarah, pisah ranjang—atau dalam istilah fikih disebut zhihar—bukan sekadar ucapan. Dulu, di masa Jahiliah, suami bisa saja menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya, lalu menganggap hubungan mereka selesai. Islam datang, mengubah aturan itu. Zhihar dianggap dosa besar, karena menyamakan istri dengan mahram adalah bentuk penolakan yang menyakitkan, bukan cuma di hati, tapi juga di martabat.
Faktanya, di Indonesia, hukum positif seperti UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas mengatur soal zhihar. Tapi, bukan berarti luka yang ditinggalkan jadi tak nyata. Dalam praktiknya, jika ucapan pisah ranjang ini sampai melukai batin istri, bahkan bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikologis menurut UU PKDRT. Karena, siapa pun berhak merasa aman dan dihargai di rumah sendiri, bukan?
Kadang, komentar orang sekitar malah memperparah luka: “Ah, cuma pisah ranjang, bukan cerai kok.” Atau, “Sabar aja, nanti juga baikan.” Padahal, tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu. Ada yang butuh pengakuan, ada yang butuh didengar, ada yang butuh dipeluk—meski hanya lewat kata-kata.
Kalau kamu sedang mengalami ini, percayalah, kamu nggak sendiri. Nggak salah kok kalau kamu merasa sedih, marah, atau kecewa. Berani bicara, berani minta bantuan, itu bukan tanda lemah. Itu tanda kamu ingin sembuh, ingin bahagia.
Ingat, rumah tangga bukan cuma soal status di KTP. Tapi tentang rasa aman, dihargai, dan dicintai. Kalau ada yang melukai, jangan ragu untuk mencari pertolongan. Kamu berhak bahagia, kamu berhak didengar. Dan, kamu nggak gagal—kamu sedang berjuang di dunia yang kadang terlalu sunyi untuk mendengar jerit hatimu.
Peluk hangat untukmu yang sedang berjuang. Kamu cukup. Kamu layak bahagia.