Kamu pernah membayangkan, seorang pemimpin besar seperti Umar bin Khattab, yang dikenal tegas dan adil, justru dengan rendah hati menerima nasihat dari seorang wanita bijak di tengah jalan? Kisah ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi pelajaran abadi tentang kepemimpinan, kerendahan hati, dan pentingnya suara rakyat.
Pertemuan di Tengah Jalan: Dialog yang Menggetarkan
Suatu hari, Umar bin Khattab berjalan keluar dari masjid bersama sahabatnya, Aljarud Al-Abdi. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang wanita yang tampak tegas dan penuh wibawa. Wanita itu menyapa Umar, lalu mengingatkan masa lalunya, “Wahai Umar, dulu aku mengenalmu saat kamu masih dipanggil Umair di Pasar Ukazh, menakut-nakuti anak kecil dengan tongkatmu. Kini, kamu menjadi Amirul Mukminin.”
Umar terdiam, memberi ruang bagi wanita itu untuk melanjutkan. “Maka bertakwalah kepada Allah dalam mengurus rakyatmu, wahai Umar. Siapa yang takut pada ancaman Allah, ia akan merasa sesuatu yang jauh menjadi dekat. Siapa yang takut pada kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan.”
Aljarud, yang menyaksikan percakapan itu, merasa wanita tersebut terlalu berani. Ia menegur, “Wahai wanita, kamu telah berbicara terlalu banyak kepada Amirul Mukminin.” Namun Umar menahan Aljarud, “Biarkan saja. Apakah kamu tidak mengenalnya? Dia adalah Khaulah binti Hakim, ucapannya didengar Allah. Demi Allah, seorang Umar lebih berhak mendengar ucapannya.”
Hikmah dari Kerendahan Hati Seorang Pemimpin
Kisah ini mengajarkan, pemimpin sejati adalah mereka yang mau mendengar, bahkan dari rakyat biasa. Umar tidak marah, tidak merasa terhina, justru mengakui pentingnya nasihat. Ia sadar, jabatan hanyalah titipan, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.
Dialog batin Umar pun terjadi. “Apakah aku sudah cukup adil? Sudahkah aku menjaga amanah?” Setiap nasihat dari rakyat adalah pengingat, bukan ancaman. Umar tahu, suara rakyat adalah cermin bagi pemimpin.
Peran Masyarakat: Menasihati dengan Hikmah
Khaulah binti Hakim, wanita bijak itu, menjadi simbol pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengingatkan pemimpin. Ia tidak kasar, tidak mengumbar aib, tapi menasihati dengan hikmah. Inilah wujud pengamalan nilai agama: saling menasihati dalam kebenaran, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Ashr.
Pemimpin yang baik membuka telinga dan hati. Rakyat yang bijak menyampaikan kebenaran dengan adab. Keseimbangan inilah yang menjaga keadilan dan kemaslahatan bersama.
Refleksi: Kepemimpinan, Nasihat, dan Waktu
Kisah Umar dan Khaulah mengingatkan kita, jabatan dan kekuasaan hanyalah sementara. Yang abadi adalah amal dan manfaat yang ditinggalkan. Setiap pemimpin, sekecil apa pun, perlu memanfaatkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk kebaikan bersama.
Kamu, aku, kita semua, punya peran. Baik sebagai pemimpin, maupun sebagai rakyat yang menasihati. Jangan ragu menyuarakan kebenaran, tapi lakukan dengan hikmah dan kasih sayang.
“Dan saling menasihatilah dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr)
Semoga narasi ini menginspirasi kita untuk selalu rendah hati, terbuka pada nasihat, dan berani menyuarakan kebenaran demi kebaikan bersama.