Najran, sebuah wilayah di selatan Arab Saudi, mungkin jarang masuk dalam daftar destinasi wisata impianmu. Namun, jika kita mau sedikit membuka cakrawala, ada banyak pelajaran dan inspirasi yang bisa dipetik dari desa-desa pedalaman di sana. Bayangkan, di tengah padang pasir yang luas, berdiri kokoh benteng-benteng kuno di atas gunung Raum dan Saadan, dikelilingi hamparan kebun kurma dan anggur yang menyejukkan mata. Suasana ini bukan sekadar lanskap indah, melainkan cerminan identitas lingkungan dan sejarah budaya yang kaya.
Kamu mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat Najran begitu istimewa? Jawabannya terletak pada keberagaman budaya dan arsitektur yang dimilikinya. Saleh Al-Asiri, salah satu penduduk setempat, pernah berkata bahwa Najran adalah mozaik dari berbagai lanskap: pegunungan, lembah, dataran, hingga gurun. Setiap sudutnya menawarkan pengalaman berbeda, seolah mengajak kita untuk merenungi betapa luasnya rahmat Allah dalam menciptakan bumi ini.
Berjalan-jalan di desa-desa seperti Zur Wadeah, Al-Hadhan, Al-Jarbah, dan Al-Qabil, kamu akan menemukan rumah-rumah tradisional dari bata tanah liat yang berdiri di antara kebun kurma dan anggur. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan ketika melihat anak-anak berlarian di antara pohon-pohon, atau para orang tua yang duduk santai di beranda rumah sambil berbincang tentang masa lalu. Dialog yang terjadi di sana bukan sekadar obrolan ringan, melainkan pertukaran nilai dan cerita yang memperkaya jiwa.
Salah satu pengalaman yang tak terlupakan adalah menyusuri Wadi Najran. Di sepanjang sungai ini, kamu bisa menikmati pemandangan rumah-rumah bersejarah, pohon kurma yang telah berusia ratusan tahun, dan matahari terbenam yang perlahan menghilang di balik benteng Raum. Ada momen-momen hening yang membuatmu ingin berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan bersyukur atas segala nikmat yang sering kali luput dari perhatian.
Menariknya, wisata pedesaan di Najran bukan hanya soal menikmati keindahan alam. Lebih dari itu, ada pelajaran tentang ketahanan, adaptasi, dan kebersamaan. Masyarakat di sana telah lama hidup berdampingan dengan alam, menjaga tradisi tanpa menutup diri dari perubahan zaman. Mereka mengajarkan kita bahwa kemajuan tidak selalu berarti meninggalkan akar budaya. Justru, dengan memahami dan merawat warisan leluhur, kita bisa melangkah lebih mantap ke masa depan.
Dalam percakapan dengan beberapa warga, terselip humor cerdas yang membuat suasana semakin akrab. “Di sini, kalau kamu tersesat, cukup cari pohon kurma tertua. Biasanya, di bawahnya ada orang bijak yang siap membantu,” ujar seorang kakek sambil tersenyum. Kalimat sederhana ini mengandung makna mendalam tentang pentingnya saling menolong dan menghargai pengalaman hidup.
Tak hanya itu, Najran juga menjadi contoh bagaimana Islam memuliakan tradisi dan lingkungan. Setiap sudut desa seolah mengingatkan kita pada ayat-ayat Al-Qur’an tentang pentingnya menjaga bumi dan menghormati warisan nenek moyang. Dalam konteks ini, wisata bukan sekadar hiburan, melainkan sarana refleksi dan pembelajaran.
Sebagai penutup, mari kita renungkan: di era modern yang serba cepat, adakah ruang bagi kita untuk kembali ke akar, menghargai kearifan lokal, dan membangun masa depan yang lebih beradab? Najran mengajarkan bahwa jawaban atas pertanyaan itu ada pada keberanian untuk melihat ke dalam diri, merangkul tradisi, dan terus belajar dari alam serta sesama manusia.