Kisah ini bermula dari seorang lelaki saleh bernama Faymiyun. Ia bukan orang biasa—hidupnya sederhana, pekerja keras, dan hatinya selalu terpaut pada Allah. Faymiyun adalah sisa pengikut Nabi Isa, seorang yang zuhud, doanya mustajab, dan selalu berpindah dari satu desa ke desa lain. Ia tak pernah makan kecuali dari hasil tangannya sendiri. Setiap hari Ahad, ia berhenti bekerja, memilih beribadah di tanah lapang sampai malam tiba.
Kalau kamu pernah dengar kisah orang yang hidupnya cuma buat ibadah, itulah Faymiyun. Dia nggak suka menonjol, tapi kebaikannya diam-diam bikin orang kagum. Faymiyun nggak pernah makan kecuali dari hasil tangannya sendiri. Hari Ahad, dia nggak mau kerja. Dia lebih suka menyendiri, shalat di tanah lapang sampai langit gelap.
Di negeri Syam, ada seorang lelaki bernama Shaleh yang diam-diam mengagumi kebaikan Faymiyun. Rasa kagumnya tumbuh jadi cinta persahabatan yang dalam. Shaleh pun mengikuti ke mana pun Faymiyun pergi, meski awalnya tanpa sepengetahuan sang guru.
Suatu hari, ada Shaleh. Awalnya cuma kagum, lama-lama jadi sahabat yang nggak mau lepas. Shaleh ngikutin Faymiyun ke mana pun, diam-diam, kayak bayangan.
Pernah, waktu Faymiyun lagi shalat di tanah lapang, tiba-tiba muncul ular berkepala tujuh. Shaleh panik, tapi Faymiyun tetap tenang. Dia cuma berdoa, dan—percaya nggak—ular itu langsung mati. Shaleh makin yakin, Faymiyun bukan orang sembarangan.
Setelah itu, Shaleh bilang, “Aku pengen terus bareng kamu.” Faymiyun cuma senyum, “Kalau kuat, ayo. Tapi hidupku nggak gampang.”
Hari-hari mereka penuh kejutan. Faymiyun sering mendoakan orang sakit, dan sembuh. Tapi dia nggak pernah mau dipanggil khusus buat nyembuhin—kalau ketemu, baru dia bantu. Pernah juga ada ayah yang pura-pura nyuruh Faymiyun kerja di rumahnya, padahal mau minta didoain anaknya yang buta. Faymiyun doain, anak itu sembuh. Kabar ini bikin Faymiyun makin dikenal, dan dia sadar waktunya pergi.
Di perjalanan, mereka lewat pohon besar. Ada suara manggil Faymiyun dari arah pohon, minta didoain di atas kuburnya. Nggak lama, orang itu wafat, Faymiyun pun mendoakan.
Petualangan mereka sampai ke Arab. Tapi nasib berkata lain, mereka malah dijual jadi budak di Najran. Waktu itu, orang Najran masih nyembah pohon kurma raksasa di tengah kota. Setiap tahun, mereka pesta di bawah pohon itu, gantungin baju dan perhiasan terbaik.
Faymiyun dibeli tokoh Najran. Setiap malam, dia shalat tahajud, dan anehnya, rumah itu terang tanpa lampu. Tuannya penasaran, nanya soal agama Faymiyun. Dengan santai, Faymiyun bilang, “Kalian nyembah pohon yang nggak bisa apa-apa. Kalau aku doa ke Tuhanku, pohon itu pasti tumbang.”
“Coba aja! Kalau bener, kami ikut agamamu,” tantang tuannya.
Faymiyun pun wudhu, shalat dua rakaat, lalu berdoa. Angin kencang datang, pohon kurma raksasa itu tumbang sampai ke akar-akarnya. Orang Najran melongo. Mereka langsung ramai-ramai ikut agama Faymiyun—ajaran Nabi Isa. Sejak itu, Najran berubah. Dari negeri penyembah pohon, jadi negeri pemeluk tauhid. Walau perjalanan mereka nggak selalu mulus.
Kadang, perubahan besar memang dimulai dari satu orang yang tulus, yang nggak pernah capek melangkah, dan selalu percaya sama kekuatan doa.