Yaman pernah mengalami masa-masa kelam, dijajah bangsa Habasyah bertahun-tahun. Di tengah keputusasaan itu, muncullah Sayf bin Dzu Yazan, seorang bangsawan Himyar yang tak mau tinggal diam.
Sayf pergi jauh, menempuh perjalanan panjang sampai ke Irak, mengadu ke Nu’man bin Mundzir, gubernur Kisra Persia. “Negeriku dijajah orang asing. Aku butuh bantuanmu!” katanya. Nu’man menampung Sayf, lalu membawanya ke Kisra saat waktunya tiba.
Kisra Persia, raja besar dengan mahkota megah, awalnya menolak. “Negerimu jauh, miskin, dan aku tak mau pasukanku susah payah di tanah Arab,” katanya. Tapi Sayf tak menyerah. Ia taburkan hadiah dari Kisra ke orang banyak, membuat namanya harum. Kisra pun berubah pikiran.
Akhirnya, Kisra mengumpulkan para menterinya. Salah satu dari mereka usul: “Di penjara kita banyak narapidana. Kirim saja mereka ke Yaman. Kalau mati, ya sudah. Kalau menang, kita dapat negeri baru.”
Maka berangkatlah 800 orang, dipimpin Wihraz—seorang tua bijak dan pemberani. Mereka naik kapal, sebagian tenggelam, sisanya sampai di pantai Aden. Sayf dan Wihraz bersatu, “Kita berjuang bareng, hidup atau mati bersama.”
Raja Habasyah di Yaman, Masruq bin Abrahah, keluar menyambut perang. Wihraz bahkan mengirim anaknya sendiri ke medan laga, tapi sang anak gugur. Dendam dan semangat makin membara.
Akhirnya, pasukan Persia dan sekutu Yaman menang. Habasyah terusir, Sayf bin Dzu Yazan naik tahta, dan Wihraz jadi gubernur Persia di Yaman. Yaman pun memasuki babak baru, lepas dari penjajahan, meski tantangan belum benar-benar usai.
Kadang, perubahan besar lahir dari tekad satu orang yang nggak mau menyerah, dan dari tangan-tangan yang mau berjuang bersama, meski harus menempuh jalan panjang dan penuh luka.
Saat pasukan sudah rapi berbaris, Wihraz bertanya, “Tunjukkan padaku raja mereka!” Mereka menunjuk lelaki di atas gajah, mahkota di kepala, yakut merah di antara matanya. “Biarkan dulu,” kata Wihraz. Tak lama, sang raja ganti naik kuda. “Biarkan juga.” Lalu, ia naik keledai. Wihraz berkata, “Anak keledai! Kau akan hina, kerajaannya pun akan hina. Aku akan memanahnya. Kalau pasukannya diam saja, tunggu aba-aba dariku. Tapi kalau mereka mengerubungi rajanya, itu tandanya panahku tepat sasaran. Saat itu, serang!”
Wihraz mencabut anak panahnya—katanya, cuma dia yang kuat mengangkatnya. Ia bidik tepat di antara alis sang raja, menembus rubi merah, menancap sampai ke belakang leher. Sang raja terpelanting. Pasukan Habasyah langsung mengerubungi, dan itulah aba-aba. Pasukan Persia menyerbu, Habasyah kocar-kacir, lari tunggang langgang.
Wihraz masuk ke Shan’a, memerintahkan panji perangnya ditancapkan tegak, bukan terjungkir. Gerbang kota dihancurkan, panji ditancap, kemenangan dirayakan.
Sayf bin Dzu Yazan menulis syair:
Manusia menyangka dua raja telah damai, Tapi rekonsiliasi mereka justru menakutkan. Kami telah membunuh raja Masruq, Dan pasir pun disirami darahnya. Kini Wihraz bersumpah tak akan minum anggur, Sampai menangkap tawanan dan rampasan perang.
Kisah ini pun jadi ilham para penyair. Ada yang menulis tentang Sayf yang bertahun-tahun di perantauan demi balas dendam, tentang pasukan Persia yang dikirim Kisra, tentang singa-singa hutan yang mengajar anak-anaknya berburu, tentang kemenangan yang akhirnya diraih.
Setelah itu, Shan’a diurus oleh tangan-tangan baru. Pangeran-pangeran Persia tinggal di sana, menggantikan raja-raja lama. Hari-hari berubah, sejarah berputar, dan Yaman pun masuk babak baru—dari tangan Habasyah ke tangan Persia.