Sirah Nabawiyah 21 July 2025

Bag. 10 Kerajaan al-Hadhar

Bag. 10 Kerajaan al-Hadhar
Bagikan:

Pernah dengar tentang al-Hadhar? Sebuah benteng megah di tepi sungai Eufrat, katanya sih, dulu berdiri gagah kayak kota kecil yang nggak pernah tidur. Dindingnya dilapisi marmer, atapnya jadi rumah nyaman buat burung-burung. Tapi, siapa sangka, benteng sekuat itu pun akhirnya tumbang juga.

Kisahnya bermula dari raja al-Hadhar, Sathirun namanya. Ia hidup di tengah kemewahan, dikelilingi tembok tinggi dan gerbang kokoh. Tapi, kematian nggak pernah takut sama benteng, kan? Sehebat apapun manusia bersembunyi, ajal tetap datang menjemput.

Suatu hari, Kisra Sabur Dzul Aktaf, raja Persia yang terkenal kejam, mengepung al-Hadhar. Dua tahun lamanya, pasukannya bertahan di luar tembok, menunggu celah. Di balik dinding, putri Sathirun diam-diam memperhatikan Sabur. Ia terpikat pada sosok raja tampan yang selalu tampil dengan mahkota emas dan permata berkilauan.

Diam-diam, sang putri mengirim pesan ke Sabur: “Kalau aku bukakan pintu benteng, maukah kau menikahiku?” Sabur, yang memang mengincar kemenangan, langsung mengiyakan.

Malam itu, Sathirun mabuk berat seperti biasanya. Putrinya mengambil kunci benteng dari bawah bantal ayahnya, lalu mengirimkannya ke Sabur lewat seorang mantan budak. Pintu al-Hadhar pun terbuka. Sabur masuk, membantai Sathirun, dan menyerahkan benteng megah itu pada pasukannya. Al-Hadhar porak-poranda, tak ada lagi kemegahan yang tersisa.

Sabur menepati janji, ia menikahi sang putri. Tapi malam pertama mereka, Sabur justru gelisah, tak bisa tidur. Setelah diperiksa, ternyata di kasur ada sebatang kayu kecil. Sabur bertanya, “Ini yang bikin kamu nggak bisa tidur?” Sang putri mengangguk. Sabur lalu teringat, “Kalau ayahmu saja kau khianati, apalagi aku?”

Akhirnya, Sabur memerintahkan pengawalnya untuk menghukum sang putri. Rambutnya diikat ke ekor kuda, lalu kuda itu dilepas berlari. Tragis, sang putri tewas mengenaskan.

Kisah ini jadi pelajaran pahit. Kekuasaan, kemewahan, dan pengkhianatan—semuanya berakhir sia-sia. Syair-syair lama pun mengabadikan ironi ini: betapa nikmat dunia nggak pernah abadi, dan pengkhianatan selalu berujung duka.

Kadang, sejarah memang terasa kejam. Tapi dari kisah al-Hadhar, kita belajar: setinggi apapun benteng yang dibangun, kalau hati rapuh dan iman goyah, semuanya bisa runtuh dalam sekejap.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua