Kadang aku membayangkan, bagaimana rasanya hidup di masa ketika satu keputusan kecil bisa mengubah arah sejarah satu bangsa. Malam itu, aku duduk bareng teman-teman, dan nama Amr bin Luhay tiba-tiba muncul di kepala.
Amr bin Luhay, tokoh yang dulu dihormati, justru jadi awal mula tradisi menyembah patung di Mekkah. Ada sabda Rasulullah ﷺ yang selalu bikin bulu kuduk berdiri, “Aku melihat Amr bin Luhay menyeret usus-ususnya di neraka.” Berat, ya? Kadang, niat baik bisa menjerumuskan kalau nggak hati-hati.
Kisahnya dimulai saat Amr pergi ke Syam. Di sana, dia lihat orang-orang minta hujan ke patung. Penasaran, dia bawa pulang satu berhala bernama Hubal. Sejak itu, batu-batu mulai ditaruh di rumah, dibawa saat bepergian, bahkan thawaf di sekelilingnya. Lama-lama, makna aslinya hilang, yang tersisa cuma ritual kosong.
Setiap kabilah akhirnya punya “ikon” sendiri. Ada yang bentuknya batu, ada yang patung, ada juga yang cuma tumpukan tanah liat. Tradisi makin kuat, logika makin kabur. Kadang, orang pamit ke berhala sebelum pergi jauh, pulang pun yang dicari duluan si patung, bukan keluarga. Ironi yang halus, tapi nyata.
Di Yaman, kabilah Hamdzan menyembah Ya’uq. Ada syair lama yang nyeletuk, “Allah itu kuasa memberi manfaat dan mudharat, tapi Ya’uq? Nggak bisa apa-apa.” Khaulan punya Umyanis, sampai hasil panen pun dikorbankan. Kalau bagian untuk Allah jatuh ke Umyanis, dibiarkan. Tapi kalau bagian Umyanis jatuh ke Allah, buru-buru diambil. Allah sendiri menegur lewat ayat Al-An’am: 136, “Amat buruklah ketetapan mereka itu.”
Ada juga Sa’ad, berhala Bani Milkan. Pernah ada yang berharap berkah, eh malah unta-untanya lari semua. Saking kesal, dilemparlah batu ke Sa’ad, “Semoga Allah nggak memberkahimu!” Baru sadar, Sa’ad cuma batu di tanah tandus, nggak bisa apa-apa.
Di Daus, ada Amr bin Humamah. Di sekitar Ka’bah, Quraisy bikin Hubal, Isaf, dan Nailah. Isaf dan Nailah ini dulunya manusia yang berbuat maksiat di dekat Ka’bah, lalu Allah ubah jadi batu. Cerita ini turun-temurun, bahkan Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah dengar kisahnya.
Orang Arab juga bikin thaghut, rumah ibadah tandingan Ka’bah. Mereka thawaf, menyembelih, dan mengagungkan thaghut itu, walau tetap tahu Ka’bah itu rumah Ibrahim. Tapi, tradisi kadang lebih kuat dari iman.
Al-Uzza, Al-Lata, dan Manat juga punya kisah sendiri. Al-Uzza dijaga Bani Syaiban, Al-Lata milik Tsaqif di Thaif, Manat jadi andalan Aus, Khazraj, dan orang Yatsrib. Setiap berhala punya penjaga, pelayan, dan ritual khusus. Sampai akhirnya, Rasulullah ﷺ sendiri yang memerintahkan sahabat-sahabatnya menghancurkan satu per satu.
Ada juga Dzu Al-Khalashah, Fals, Ri’am, Rudha’, dan Dzu Al-Ka’abaat. Setiap nama punya cerita, setiap reruntuhan jadi saksi betapa manusia bisa tersesat jauh dari tauhid hanya karena ikut-ikutan dan gengsi kabilah.
Kadang, kalau ngobrolin sejarah Arab, pasti nyangkut ke soal nasab. Ibnu Ishaq pernah bilang, orang-orang Khuza’ah itu anak cucu Amr bin Amir dari Yaman. Ada juga versi Ibnu Hisyam, katanya mereka anak cucu Amr bin Rabi’ah bin Haritsah bin Amr bin Amir, dan seterusnya—panjang banget, sampai ke Al-Ghauts, dan ibunya Khindaf. Intinya, mereka bangga sama garis keturunan, apalagi kalau bisa nyambung ke tokoh besar.
Khuza’ah sendiri, katanya, dinamai begitu karena mereka terpisah dari rombongan saat migrasi dari Yaman ke Syam. Mereka mampir di Marr Dhahran, lalu menetap di sana. Ada syair dari Auf bin Ayyub Al-Anshari waktu masuk Islam:
“Ketika kami mampir pada kabilah Murr, terpisahlah Khuza’ah di tengah-tengah rombongan kuda nan banyak Melindungi seluruh lembah Tihamah Dengan tombak kokoh juga pedang nan tajam”
Ada juga syair dari Abu Al-Muthahhar Ismail bin Rafi’, soal Khuza’ah yang usir Jurhum dari Mekkah:
“Kala kami mampir di pusat kota Mekkah Khuza’ah dapatkan hunian para tiran yang melampaui batas Mereka berdiam di tengah kelompok manusia dan menebar potongan kuda Di seluruh kampung antara bebukitan Najed dan tanah rendah Mereka usir Jurhum dari dataran rendah Mekkah dan mereka merayap Akibat kekuasaan Khuza’ah yang demikian hebat”
Soal nasab, Ibnu Ishaq juga cerita tentang Mudrikah bin Ilyas yang punya dua anak: Khuzaimah dan Hudzail. Lalu Khuzaimah punya empat anak, salah satunya Kinanah. Dari Kinanah, lahir An-Nadhr, Malik, Abdu Manat, dan Milkan. Ibu An-Nadhr namanya Barrah binti Murr.
Ibnu Hisyam bilang, An-Nadhr itu Quraisy. Anak cucunya disebut Quraisy, yang lain nggak. Ada syair Jarir bin Athiyyah yang memuji Barrah binti Murr, ibu Quraisy:
“Ibu yang melahirkan Quraisy Bukanlah wanita bernasab buruk bukan pula wanita mandul Tidak ada satu kaumpun yang lebih terhormat daripada ayah kalian Tidak pula ada paman dari ibu yang lebih terpuji daripada Tamim”
Ada juga yang bilang, Quraisy itu dari Fihr bin Malik. Nama Quraisy sendiri katanya dari kata taqarrusy—bisnis, kerja, cari harta. Ada syair Ru’bah bin Al-Ajjaj:
“Lemak gemuk dan susu murni membuat mereka Tak lagi butuhkan gandum dan kerja dan jatuhan buah Mereka adalah saudara-saudara yang memikul dosa-dosa ke pundak kami Di usia yang baru lewat dan masa lalu yang jauh”
Ibnu Ishaq juga bilang, Quraisy itu dulu sempat tercerai-berai, lalu bersatu lagi. Dari An-Nadhr, lahir Malik dan Yakhlud, lalu ada juga Ash-Shalt. Ada syair Kutsair Azzah:
“Bukankah ayahku adalah Ash-Shalt? Tidakkah saudara-saudaraku orang-orang terhormat dan kesohor di kalangan Bani An-Nadhr? Kau bisa lihat pakaian dari Yaman ada merekadan pada kami juga sandal Hadnrami yang sempit dengan model yang sama Jika kalian bukan dari Bani Nadhir, maka tinggalkanlah Pohon arak (siwak) nan hijau di ujung lembah-lembah itu”
Lalu, dari Malik lahir Fihr bin Malik, dan seterusnya sampai ke Ghalib, Luay, Ka’ab, Amir, Samah, dan Auf. Setiap nama punya kisah, kadang ada yang pergi merantau, ada yang berselisih, bahkan ada yang jadi penyair. Ada syair Samah bin Luay sebelum wafat:
“Wahai mata, menangislah untuk Samah bin Luay Karena petaka ular tergantung di betis Samah Tak pernah ku lihat orang seperti Samah bin Luay Di hari mereka menempatkannya sebagai korban karena untanya Sampaikan kepada Amir; dan Ka’ab Bahwa aku amat merindukan keduanya Walaupun rumahku ada di Oman”
Ada juga kisah Auf bin Luay yang akhirnya menetap di Ghathafan, menikah di sana, dan nasabnya menyebar. Bahkan Umar bin Khaththab pernah bilang, kalau boleh memilih nasab, dia mau masuk ke Bani Murrah bin Auf karena merasa dekat secara sejarah.
Di antara tokoh Bani Murrah, ada Hasyim bin Harmalah yang terkenal di medan perang. Ada syair Amir Al-Khashafi:
“Hasyim bin Harmalah menghidupkan kembali ayahnya Di Hari Al-Haba’ah dan Hari Al-Ya’malah Kau lihat para raja merasa hina raja di sisinya Ia bunuh orang berdosa ataupun tidak berdosa”
Semua kisah nasab ini, walau rumit, selalu jadi kebanggaan orang Arab. Mereka percaya, mengenal akar itu penting—bukan buat sombong, tapi biar nggak lupa dari mana mereka berasal.