Sirah Nabawiyah 23 July 2025

Pernikahan Qushay bin Kilab dan Kepemimpinan Mekkah

Pernikahan Qushay bin Kilab dan Kepemimpinan Mekkah
Bagikan:

Dalam perjalanan panjang memahami sirah nabawiyah, saya selalu terpesona dengan bagaimana Allah Ta’ala telah mempersiapkan setiap detail sejarah menuju kelahiran Rasulullah SAW. Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat, salah satu babak yang sangat menarik adalah kisah Qushay bin Kilab—kakek buyut Rasulullah—yang berhasil merebut kembali kepemimpinan Mekkah dan pengurusan Ka’bah untuk suku Quraisy. Peristiwa ini terjadi beberapa generasi sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, namun memberikan fondasi yang sangat penting bagi masa depan dakwah Islam.

Yang saya pahami tentang konteks sejarah pada masa itu, kekuasaan atas Mekkah dan pengurusan Ka’bah bukanlah sekadar urusan politik biasa. Ini adalah kombinasi antara kepemimpinan spiritual, ekonomi, dan sosial yang akan menentukan masa depan seluruh Jazirah Arab. Dalam tradisi Arab pra-Islam, siapa yang menguasai Ka’bah dan Mekkah akan memiliki pengaruh besar terhadap rute perdagangan dan kehidupan keagamaan masyarakat Arab.

Pernikahan yang Mengubah Sejarah Mekkah

Dari yang saya baca dalam berbagai sumber sirah, pernikahan Qushay bin Kilab dengan Hubba binti Halul merupakan titik balik yang sangat penting. Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Qushay melamar Hubba kepada ayahnya, Hulail bin Habasyiyah dari suku Khuza’ah. Yang menarik bagi saya dari kepribadian Hulail adalah bagaimana dia sangat tertarik kepada Qushay, melihat kualitas kepemimpinan yang ada pada dirinya.

Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua hati, tetapi juga penyatuan dua kekuatan besar. Hulail pada saat itu memegang kendali atas Ka’bah dan Mekkah, sementara Qushay membawa legitimasi sebagai keturunan langsung Ismail bin Ibrahim. Dalam konteks budaya Arab abad ke-7, pernikahan semacam ini sangat strategis karena menggabungkan kekuasaan aktual dengan legitimasi keturunan.

Dari hasil pernikahan yang diberkahi ini, lahirlah empat putra yang akan menjadi cikal bakal kehebatan suku Quraisy: Abduddar, Abdu Manaf, Abdul Uzza, dan Abdu. Yang saya pahami tentang nama-nama ini, semuanya mengandung unsur ‘Abd yang berarti hamba, menunjukkan kesadaran spiritual masyarakat Arab meski masih dalam periode jahiliah. Abdu Manaf kelak akan menjadi kakek buyut Rasulullah SAW melalui jalur Abdul Muththalib.

Riwayat menyebutkan bahwa seiring berjalannya waktu, anak-anak Qushay menyebar ke berbagai kawasan, harta mereka semakin banyak, dan kehormatan mereka semakin meningkat. Ini adalah tanda-tanda bahwa Allah telah memberkahi keturunan Qushay sebagai persiapan bagi misi besar yang akan datang. Dalam pemahaman saya, setiap langkah dalam sejarah ini adalah bagian dari takdir Allah untuk mempersiapkan jalan bagi kelahiran dan dakwah Rasulullah SAW.

Visi Besar Qushay untuk Merebut Kembali Mekkah

Ketika Hulail bin Habasyiyah meninggal dunia, Qushay mulai merealisasikan visi besarnya. Yang selalu menginspirasi saya dari kepribadian Qushay adalah bagaimana dia memiliki visi yang jelas tentang legitimasi kepemimpinan. Dia memandang bahwa dirinya dan suku Quraisy lebih berhak untuk mengelola Ka’bah dan menjadi penguasa Mekkah daripada suku Khuza’ah dan Bani Bakr.

Argumentasi Qushay sangat kuat dari segi genealogi: orang-orang Quraisy adalah keturunan Ismail bin Ibrahim yang paling baik dan paling jelas nasabnya. Dalam tradisi Arab yang sangat menghargai silsilah keturunan, ini adalah argumen yang sangat powerful. Yang saya pahami dari konteks ini, Qushay bukan sekadar ingin berkuasa, tetapi ingin mengembalikan hak yang memang secara legitim milik keturunan Ismail.

Strategi yang digunakan Qushay juga menunjukkan kecerdasan politik yang luar biasa. Dia mulai melobi tokoh-tokoh Quraisy dan Kinanah, memprovokasi mereka untuk mengusir Khuza’ah dan Bani Bakr dari Mekkah. Dalam pemahaman saya, ini bukan provokasi dalam arti negatif, tetapi kebangkitan kesadaran akan hak-hak historis mereka sebagai keturunan Ismail.

Respons positif dari tokoh-tokoh Quraisy dan Kinanah menunjukkan bahwa visi Qushay mendapat dukungan luas. Mereka menyadari bahwa sudah saatnya keturunan Ismail kembali mengelola rumah suci yang dibangun oleh leluhur mereka sendiri. Hikmah yang bisa kita ambil bersama dari strategi Qushay ini adalah pentingnya membangun konsensus dan dukungan komunitas dalam memperjuangkan suatu tujuan yang benar.

Dukungan Keluarga dan Aliansi Strategis

Yang sangat menyentuh dalam kisah ini adalah bagaimana Qushay mencari dukungan dari saudara seibu-nya, Rizah bin Rabi’ah. Latar belakang keluarga Qushay memang cukup kompleks—setelah ayahnya Kilab meninggal, ibunya Fathimah binti Sa’ad menikah dengan Rabi’ah bin Haram dari suku ‘Udzrah, dan membawa Qushay ke negeri suaminya yang baru.

Qushay tumbuh dewasa di luar Mekkah, namun ketika sudah dewasa, dia kembali ke Mekkah dan menetap di sana. Ini menunjukkan bahwa panggilan untuk kembali ke tanah leluhur sangat kuat dalam dirinya. Ketika waktunya tiba untuk merealisasikan visinya, Qushay menulis surat kepada Rizah bin Rabi’ah, mengajaknya untuk membantu dan ikut berjuang bersamanya.

Respons Rizah sangat menggembirakan. Dia berangkat ke Mekkah dengan diikuti saudara-saudaranya: Hunn bin Rabi’ah, Mahmud bin Rabi’ah, dan Julhumah bin Rabi’ah, serta orang-orang yang ikut haji bersama mereka dari suku Qudha’ah. Mereka semua sepakat untuk membantu Qushay bin Kilab. Dalam pemahaman saya, ini menunjukkan bagaimana ikatan keluarga dan persaudaraan bisa menjadi kekuatan yang sangat besar dalam memperjuangkan kebenaran.

Yang menarik adalah reaksi orang-orang Khuza’ah. Mereka mengira bahwa Hulail bin Habasyiyah sebelum meninggal telah menyuruh Qushay untuk bertindak demikian, dan memerintahkannya ketika anak-anaknya telah menyebar ke mana-mana. Riwayat menyebutkan bahwa Hulail berkata kepada Qushay: “Engkau lebih pantas mengelola Ka’bah dan mengurus Mekkah daripada Khuza’ah.”

Tradisi Pelayanan Haji: Al-Ghauts bin Murr dan Para Shufah

Seiring dengan dinamika kepemimpinan di Mekkah, ada tradisi lain yang sangat menarik dalam pelayanan jamaah haji, yaitu peran Al-Ghauts bin Murr dan keturunannya yang dikenal sebagai Shufah. Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat, Al-Ghauts bin Murr bin Ud bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar menjabat sebagai pelayan jamaah haji dari Arafah, dan posisi ini diteruskan kepada keturunannya.

Yang sangat menyentuh dari kisah Al-Ghauts adalah latar belakang kenapa dia menjadi pelayan Ka’bah. Ibunya yang berasal dari suku Jurhum tidak bisa hamil dalam waktu yang lama, kemudian bernazar bahwa jika Allah memberikannya seorang anak laki-laki, dia akan menyedekahkannya kepada Ka’bah untuk menjadi pelayan dan mengurus Ka’bah. Ketika ibunya melahirkan Al-Ghauts, nazar itu pun ditepati.

Al-Ghauts kemudian mengurus Ka’bah pada masa-masa awal bersama dengan paman-pamannya dari Jurhum. Dia melayani jamaah haji dari Arafah karena posisinya terhadap Ka’bah, demikian pula dengan anak keturunannya setelahnya hingga mereka meninggal semua. Yang membuat saya kagum adalah bagaimana Al-Ghauts memandang tugasnya ini sebagai amanah yang sangat mulia.

Ada syair yang dikisahkan dari Al-Ghauts tentang ibunya yang melaksanakan nazarnya. Meskipun saya tidak menemukan teks Arab aslinya dalam riwayat ini, makna syair tersebut sangat indah: “Sesungguhnya aku menjadikan anak-anak untuk Tuhan, sebagai ahli ibadah di Mekkah yang mulia. Maka berkahilah dia untukku di dalamnya, jadikan dia untukku sebagai manusia paling mulia.”

Tata Cara Pelayanan Shufah dalam Ibadah Haji

Sistem pelayanan yang dikembangkan oleh para Shufah sangat terorganisir dan menunjukkan dedikasi tinggi terhadap ibadah haji. Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Zubair meriwayatkan bahwa Shufah berangkat bersama rombongan dari Arafah dan melayani mereka ketika berangkat dari Mina. Pada hari nafar (hari keberangkatan), mereka mengatur proses pelemaran jumrah dengan sangat disiplin.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana para Shufah memegang teguh aturan waktu dalam pelaksanaan ibadah. Ketika orang-orang yang terburu-buru datang kepada Shufah dan berkata: “Berdiri dan lemparlah jumrah hingga kami melempar bersama denganmu,” para Shufah menjawab dengan tegas: “Tidak. Demi Allah, kami tidak melempar jumrah hingga (matahari) tergelincir dari ufuk dan condong ke barat.”

Orang-orang yang terburu-buru itu tetap melempar jumrah dengan kerikil-kerikil kecil sambil berkata: “Jangan begitu, berdiri dan lemparlah.” Namun para Shufah tetap gigih menolak untuk melempar jumrah sebelum waktunya. Ketika matahari telah condong ke barat, barulah Shufah berdiri lalu melempar jumrah dan jamaah haji pun melempar jumrah bersamanya.

Hikmah yang bisa kita ambil bersama dari sikap para Shufah ini adalah pentingnya menjaga waktu-waktu ibadah sesuai dengan tuntunan yang benar. Mereka tidak mau kompromi dengan kemudahan atau tekanan dari orang lain ketika menyangkut pelaksanaan ibadah yang benar. Ini adalah teladan yang sangat baik tentang integritas dalam beribadah.

Sistem Kepemimpinan dalam Perjalanan Haji

Setelah selesai melempar jumrah dan hendak meninggalkan Mina, sistem kepemimpinan para Shufah semakin terlihat jelas. Orang-orang Shufah berdiri di samping Al-Aqabah, dan jamaah haji pun berhenti. Mereka berkata: “Beranjaklah wahai Shufah.” Namun para Shufah tidak mau beranjak hingga mereka memimpin terlebih dahulu.

Jika para Shufah telah beranjak, barulah jamaah haji diperbolehkan beranjak dan mereka berjalan di belakang para Shufah. Tradisi ini menunjukkan sistem kepemimpinan yang sangat terorganisir dalam pelaksanaan ibadah haji. Para Shufah berfungsi sebagai pemimpin spiritual dan praktis yang mengatur jalannya ibadah dengan tertib.

Tradisi ini berlanjut hingga generasi para Shufah punah, kemudian posisi ini diwarisi oleh kerabat yang terdekat dengan mereka, yaitu Bani Sa’ad bin Zaid Manat bin Tamim. Posisi kepemimpinan dalam pelayanan haji kemudian menjadi milik Bani Sa’ad, khususnya keluarga Shafwan bin Al-Harits bin Syijnah.

Shafwan adalah orang yang membimbing jamaah haji dari Arafah dan dilanjutkan oleh anak keturunannya setelah dia meninggal dunia. Anak keturunannya yang terakhir kali melakukan tugas ini pada zaman Islam adalah Karib bin Shafwan. Ada syair dari Aus bin Tamim bin Maghra’ As-Sa’di yang menggambarkan pentingnya peran keluarga Shafwan: “Manusia tidak beranjak saat mereka berhaji, hingga dikatakan kepada mereka: Beranjaklah wahai keluarga Shafwan.”

Refleksi dan Hikmah untuk Zaman Kita

Dari kisah pernikahan Qushay bin Kilab dan sistem pelayanan para Shufah ini, hikmah yang bisa kita ambil bersama sangatlah kaya. Pertama, kita melihat bagaimana Allah mempersiapkan jalan bagi datangnya Islam melalui peristiwa-peristiwa yang tampaknya biasa namun memiliki makna mendalam. Pernikahan Qushay dengan Hubba bukan hanya penyatuan dua individu, tetapi penyatuan legitimasi historis dengan kekuasaan praktis.

Kedua, visi dan kepemimpinan Qushay mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki tujuan yang jelas dan benar, serta kemampuan untuk membangun koalisi dan dukungan dalam memperjuangkan tujuan tersebut. Qushay tidak bekerja sendiri, tetapi melibatkan keluarga dan sekutunya dalam merealisasikan visinya.

Ketiga, dedikasi para Shufah dalam melayani jamaah haji menunjukkan bagaimana pelayanan kepada Allah dan sesama bisa menjadi jalan hidup yang mulia. Mereka tidak hanya melayani, tetapi juga menjaga standar dan kualitas pelayanan dengan integritas tinggi.

Keempat, sistem kepemimpinan yang terorganisir dalam tradisi para Shufah memberikan pelajaran tentang pentingnya struktur dan disiplin dalam pelaksanaan ibadah. Mereka memahami bahwa ibadah yang benar memerlukan panduan dan kepemimpinan yang kompeten.

Dalam konteks kita sebagai umat Islam hari ini, cerita ini mengingatkan kita bahwa setiap peran yang kita emban—baik sebagai pemimpin keluarga, masyarakat, atau dalam kapasitas apapun—adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Seperti Qushay yang berjuang untuk mengembalikan hak yang legitim, dan seperti para Shufah yang melayani dengan dedikasi tinggi, kita pun dipanggil untuk menjalankan tugas kita dengan integritas dan komitmen yang sama.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua