Dalam perjalanan memahami sirah nabawiyah, saya sering terpesona dengan bagaimana Allah Ta’ala telah menyiapkan berbagai sistem kepemimpinan dan tradisi hukum di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam. Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat, salah satu aspek yang sangat menarik adalah peran suku Adwan dalam mengatur upacara keberangkatan jamaah haji dari Muzdalifah, serta sistem peradilan yang mereka kembangkan. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam telah memiliki struktur sosial dan hukum yang terorganisir, meski masih dalam periode jahiliah.
Yang saya pahami tentang konteks sejarah pada masa itu, kepemimpinan dalam ritual keagamaan bukanlah sekadar formalitas, tetapi mencerminkan otoritas spiritual dan sosial yang mendalam. Suku Adwan, sebagai salah satu cabang dari Qais Ailan, memiliki peran khusus dalam mengatur perjalanan jamaah haji, khususnya dalam upacara keberangkatan dari Muzdalifah menuju Mina. Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Arab telah mengembangkan sistem yang terstruktur dalam mengelola ibadah haji jauh sebelum Islam datang dengan penyempurnaannya.
Syair Dzu Al-Ashba’ dan Kebanggaan Suku Adwan
Dari yang saya baca dalam berbagai sumber sirah, ada syair yang sangat menarik dari Dzu Al-Ashba’ Al-Adwani—yang bernama asli Hurtsan bin Amr. Nama “Dzu Al-Ashba’” sendiri memiliki makna khusus karena dia memiliki jari-jemari yang terpotong, namun hal ini tidak mengurangi kehormatan dan kedudukan tingginya dalam masyarakat. Syair yang disampaikannya mencerminkan kebanggaan sekaligus refleksi terhadap perjalanan sejarah sukunya.
Dalam syairnya, Dzu Al-Ashba’ menyampaikan permohonan maaf dari suku Adwan, sambil mengenang masa-masa ketika mereka menjadi penguasa bumi. Yang menarik bagi saya dari syair ini adalah bagaimana dia mengakui dengan jujur bahwa di antara mereka ada yang berbuat zalim pada yang lain, dan tidak menaruh belas kasih pada sebagian lainnya. Ini menunjukkan kedewasaan dalam introspeksi dan tidak menutupi kesalahan masa lalu.
Namun di sisi lain, syair tersebut juga mengangkat aspek-aspek positif dari kepemimpinan suku Adwan. Disebutkan bahwa di antara mereka ada yang menjadi pemimpin yang senantiasa menepati pembayaran pinjaman, menunjukkan integritas dalam urusan ekonomi. Ada pula yang memandu manusia menunaikan ibadah sunnah dan wajib, mencerminkan peran spiritual yang mereka emban. Yang paling menonjol adalah keberadaan penguasa yang memutuskan perkara dengan keputusan yang tidak bisa dibatalkan, menunjukkan otoritas hukum yang kuat dan dihormati.
Syair ini menjadi bukti bahwa kepemimpinan perjalanan meninggalkan Muzdalifah memang berada di bawah kendali suku Adwan, sebagaimana dinyatakan oleh Ziyad bin Abdullah Al-Bakkai dari Muhammad bin Ishaq. Tradisi ini diwariskan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi, hingga orang yang terakhir kali melakukannya dalam masa Islam adalah Abu Sayyarah Umailah bin Al-A’zal.
Kepemimpinan Abu Sayyarah dalam Masa Islam
Yang sangat menyentuh bagi saya adalah bagaimana tradisi kepemimpinan suku Adwan ini berlanjut hingga masa Islam, menunjukkan bahwa Islam tidak menghapus semua tradisi baik yang sudah ada, tetapi menyempurnakannya. Abu Sayyarah Umailah bin Al-A’zal adalah figur yang menarik karena dia memimpin jamaah haji dengan cara yang unik—dari atas keledainya.
Ada syair Arab yang mengabadikan sosok Abu Sayyarah ini: “Kami berjuang demi membela Abu Sayyarah, dan demi anak-anak pamannya dan Bani Fazarah. Hingga ia menggiring keledainya dengan selamat, dengan menghadap kiblat berdoa pada Allah Tuhannya.” Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Abu Sayyarah memang membimbing jamaah haji dari atas keledainya, itulah sebabnya penyair menyebut tentang keledai yang selamat.
Yang membuat saya kagum dari sosok Abu Sayyarah adalah bagaimana dia memadukan tradisi kepemimpinan leluhurnya dengan nilai-nilai Islam yang baru. Dia tetap memimpin jamaah haji sebagaimana tradisi sukunya, namun dengan menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, menunjukkan transformasi spiritual yang indah. Ini adalah contoh sempurna bagaimana Islam mengakomodasi tradisi baik sambil memurnikan orientasi spiritualnya.
Dalam pemahaman saya, sosok Abu Sayyarah mewakili generasi transisi yang berhasil memadukan warisan budaya dengan ajaran Islam. Keledai yang dia tunggangi bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol kerendahan hati dan kesederhanaan dalam kepemimpinan, sangat kontras dengan kemegahan yang biasanya diasosiasikan dengan kekuasaan.
Amir bin Dzarib: Hakim Agung Masyarakat Arab
Dari seluruh tokoh yang disebutkan dalam riwayat ini, yang paling menarik perhatian saya adalah Amir bin Dzarib bin Amr bin Iyadz bin Yasykur bin Adwan Al-Adwani. Dia adalah sosok yang sangat dihormati sebagai hakim tertinggi di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Yang saya pahami tentang kedudukan Amir bin Dzarib, dia bukan sekadar pemimpin suku, tetapi otoritas hukum yang diakui seluruh Arab.
Riwayat menyebutkan bahwa tidaklah orang-orang Arab terlibat konflik yang kompleks kecuali mereka pasti menyerahkannya kepada Amir bin Dzarib, dan menerima apa saja yang diputuskannya. Ini menunjukkan tingkat kepercayaan dan rasa hormat yang luar biasa dari seluruh suku-suku Arab. Dalam konteks masyarakat yang sangat bangga dengan identitas sukunya masing-masing, pencapaian ini benar-benar luar biasa.
Yang membuat posisi Amir bin Dzarib semakin istimewa adalah bagaimana dia menangani kasus-kasus hukum yang paling rumit sekalipun. Integritas dan kebijaksanaannya telah teruji melalui berbagai kasus yang diselesaikannya dengan adil. Keputusan-keputusannya diterima tanpa bantahan karena masyarakat Arab menyadari bahwa dia memiliki kapasitas intelektual dan moral yang tinggi.
Dalam pemahaman saya, sosok Amir bin Dzarib menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam telah mengembangkan sistem hukum yang canggih, meski belum mendapat hidayah Islam. Mereka memahami pentingnya otoritas hukum yang netral dan dapat dipercaya untuk menjaga ketertiban sosial dalam masyarakat yang sangat majemuk.
Kasus Hukum Waria: Ujian Kebijaksanaan Tertinggi
Salah satu kasus yang paling menarik yang pernah dihadapi Amir bin Dzarib adalah tentang status hukum waria. Orang-orang Arab bertanya padanya: “Apakah engkau menganggap ia sebagai laki-laki atau perempuan?” Riwayat menyebutkan bahwa mereka tidak pernah mengajukan persoalan yang lebih rumit daripada hukum waria ini. Ini menunjukkan bahwa kasus ini benar-benar menguji batas kemampuan intelektual dan hukum pada zamannya.
Yang sangat menarik bagi saya dari respons Amir bin Dzarib adalah kejujurannya dalam mengakui kesulitan. Dia berkata: “Beri aku waktu untuk memikirkan masalah kalian ini. Demi Allah, aku belum pernah menghadapi masalah yang pelik semacam ini, hai orang-orang Arab!” Sikap ini menunjukkan kerendahan hati dan kehati-hatian seorang hakim sejati yang tidak ingin terburu-buru dalam memutuskan perkara yang kompleks.
Malam itu, Amir bin Dzarib tidak bisa memejamkan mata karena memikirkan perkara pelik tersebut. Dalam tradisi Arab yang sangat menghargai kehormatan dan wibawa, mengakui kesulitan dan meminta waktu untuk berpikir justru menunjukkan kedewasaan dan tanggung jawab tinggi. Dia menyadari bahwa keputusan yang akan diambilnya akan menjadi preseden penting untuk masa depan.
Yang membuat kisah ini semakin menarik adalah bagaimana solusi datang dari sumber yang tidak terduga—yaitu dari budak perempuan bernama Sukhailah yang menggembalakan kambing-kambingnya. Ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja, tidak terbatas pada status sosial atau kedudukan.
Kebijaksanaan Sukhailah: Solusi dari yang Sederhana
Hubungan antara Amir bin Dzarib dengan budak perempuannya, Sukhailah, memberikan gambaran menarik tentang dinamika sosial pada masa itu. Amir bin Dzarib memiliki kebiasaan mengolok-olok Sukhailah karena dia sering terlambat berangkat dan pulang dari padang gembala. Dia sering berkata: “Wahai Sukhailah, demi Allah, alangkah paginya engkau berangkat hari ini,” atau “Hai Sukhailah, demi Allah, alangkah senjanya kau pulang hari ini.”
Namun malam itu, ketika Amir bin Dzarib gelisah dan tidak bisa tidur, Sukhailah menunjukkan kepedulian kepada tuannya. Dia bertanya: “Ada apa denganmu, semoga engkau tidak mempunyai ayah? Apa yang membuatmu gelisah malam ini?” Awalnya Amir bin Dzarib menolak untuk bercerita, berkata kesal: “Celakalah engkau, pergilah dariku. Ini urusanku bukan urusanmu!”
Yang sangat menyentuh adalah bagaimana Sukhailah tidak menyerah dan terus menunjukkan perhatiannya. Akhirnya Amir bin Dzarib berpikir dalam hatinya: “Siapa tahu Sukhailah mampu memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang aku hadapi.” Sikap terbuka ini menunjukkan kebesaran hati seorang pemimpin yang tidak sombong untuk mendengarkan masukan dari siapa pun.
Ketika Amir bin Dzarib akhirnya menceritakan masalahnya tentang waris waria, respons Sukhailah sangat brilliant: “Mahasuci Allah, semoga engkau tidak mempunyai ayah, putuskan dia sesuai cara kencingnya. Perhatikan dia, jika dia kencing sebagaimana laki-laki kencing, maka hukumi dia sebagai orang laki-laki, dan jika dia kencing seperti perempuan, maka hukumi sebagai dia orang perempuan.”
Implementasi Solusi dan Apresiasi terhadap Kebijaksanaan
Solusi yang diberikan Sukhailah sangat praktis dan logis. Dia menggunakan ciri fisik yang paling fundamental untuk membedakan jenis kelamin, yaitu cara buang air kecil. Ini adalah pendekatan yang sangat rasional dan mudah untuk diverifikasi, menunjukkan bahwa kadang-kadang solusi terbaik adalah yang paling sederhana dan natural.
Reaksi Amir bin Dzarib terhadap solusi ini sangat mengharukan. Dia berkata: “Hai Sukhailah, pergilah sesore apapun dan pergilah di pagi hari sesukamu, demi Allah engkau telah memberi solusi atas persoalan ini.” Dengan kata-kata ini, dia memberikan kebebasan kepada Sukhailah untuk mengatur waktu kerjanya, sebagai bentuk apresiasi atas bantuan yang diberikan.
Keesokan paginya, Amir bin Dzarib menemui masyarakat dan memutuskan perkara tersebut berdasarkan arahan Sukhailah. Yang membuat saya kagum adalah bagaimana dia tidak merasa malu atau gengsi untuk menggunakan solusi yang datang dari seorang budak perempuan. Ini menunjukkan kebesaran jiwa dan komitmen terhadap keadilan yang sesungguhnya.
Dalam pemahaman saya, cara Amir bin Dzarib menghargai kontribusi Sukhailah dengan memberikan kebebasan waktu kerja adalah bentuk reward yang sangat bermakna pada zamannya. Dia tidak memberikan hadiah material, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga—yaitu kebebasan dan pengakuan atas kontribusi.
Refleksi dan Hikmah untuk Zaman Kita
Dari kisah kepemimpinan suku Adwan dan kebijaksanaan Amir bin Dzarib ini, hikmah yang bisa kita ambil bersama sangatlah mendalam. Pertama, kita melihat bagaimana tradisi kepemimpinan yang baik bisa diteruskan dari generasi ke generasi, dan bagaimana Islam menyempurnakan tradisi tersebut tanpa menghancurkannya. Abu Sayyarah adalah contoh sempurna bagaimana seorang pemimpin bisa memadukan warisan budaya dengan nilai-nilai spiritual yang baru.
Kedua, sosok Amir bin Dzarib mengajarkan kita tentang pentingnya integritas dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan, terutama yang menyangkut kehidupan orang lain. Keberaniannya untuk mengakui kesulitan dan meminta waktu berpikir menunjukkan kedewasaan kepemimpinan yang sesungguhnya. Seorang pemimpin sejati bukanlah yang tahu segalanya, tetapi yang berani mengakui keterbatasan dan mencari solusi terbaik.
Ketiga, interaksi antara Amir bin Dzarib dengan Sukhailah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mendengarkan masukan dari semua pihak, tidak peduli status sosial mereka. Kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja, dan seorang pemimpin yang baik harus terbuka untuk menerima ide dari berbagai sumber. Sikap Amir bin Dzarib yang tidak gengsi menggunakan solusi dari seorang budak menunjukkan kebesaran jiwa yang patut diteladani.
Keempat, cara Amir bin Dzarib mengapresiasi kontribusi Sukhailah dengan memberikan kebebasan waktu kerja mengajarkan kita tentang pentingnya menghargai orang lain secara konkret. Apresiasi tidak harus selalu berbentuk materi, tetapi bisa berupa pengakuan dan kebebasan yang bermakna.
Dalam konteks kepemimpinan modern, kisah ini mengingatkan kita bahwa seorang pemimpin yang baik adalah yang mampu membangun sistem yang terorganisir (seperti tradisi Adwan dalam mengatur jamaah haji), memiliki integritas dalam pengambilan keputusan (seperti Amir bin Dzarib), terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak (seperti keterbukaan terhadap Sukhailah), dan menghargai kontribusi orang lain dengan cara yang bermakna. Hikmah dari masa pra-Islam ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kepemimpinan yang baik bersifat universal dan relevan sepanjang zaman.