Sirah Nabawiyah 23 July 2025

Penaklukan Mekkah oleh Qushay dan Penyatuan Suku Quraisy

Penaklukan Mekkah oleh Qushay dan Penyatuan Suku Quraisy
Bagikan:

Pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana Allah Ta’ala mempersiapkan panggung sejarah untuk kelahiran Rasulullah SAW? Dari yang saya baca dalam berbagai riwayat sirah, salah satu momen paling menentukan adalah ketika Qushay bin Kilab—kakek buyut Nabi Muhammad—berhasil menaklukkan Mekkah dan menyatukan suku Quraisy yang berserakan. Peristiwa ini bukan sekadar pergantian kekuasaan politik, tetapi transformasi besar yang akan mengubah wajah Jazirah Arab dan mempersiapkan jalan bagi datangnya Islam.

Yang membuat saya terpesona dari kisah ini adalah bagaimana seorang yang tumbuh di pengasingan bisa kembali dan merebut kembali hak leluhurnya dengan strategi yang brilian. Qushay bukan hanya seorang penakluk, tetapi juga negarawan visioner yang memahami pentingnya persatuan dan sistem pemerintahan yang terorganisir. Dalam konteks budaya Arab abad ke-7 yang sangat tribal dan individualistik, pencapaian Qushay dalam menyatukan berbagai klan Quraisy adalah prestasi luar biasa yang menunjukkan kualitas kepemimpinan yang istimewa.

Konfrontasi Bersejarah di Aqabah: Awal Mula Perubahan

Dari yang saya pahami tentang kondisi Mekkah saat itu, para Shufah masih menjalankan tradisi lama mereka dalam mengatur upacara haji, sebagaimana yang telah berlangsung sejak masa Jurhum dan Khuza’ah. Orang-orang Arab telah menganggap tradisi ini sebagai bagian dari agama mereka yang tidak boleh diubah. Namun pada tahun tersebut, terjadi peristiwa yang akan mengubah segalanya.

Qushay bin Kilab datang bersama para pengikutnya dari suku Quraisy, Kinanah, dan Qudha’ah ke Aqabah, tempat para Shufah sedang menjalankan tugas mereka. Yang menarik bagi saya dari momen ini adalah keberanian Qushay untuk menantang tradisi yang sudah mapan. Dia berkata kepada para Shufah: “Kami lebih pantas mengelola urusan haji ini daripada kalian.” Pernyataan ini bukan sekadar klaim kosong, tetapi berdasarkan legitimasi sebagai keturunan Ismail bin Ibrahim.

Konfrontasi ini tidak bisa dihindari. Terjadilah perang sengit di antara mereka, dan akhirnya para Shufah kalah. Qushay bin Kilab berhasil mengalahkan mereka dan merampas apa yang selama ini ada di tangan mereka. Dalam pemahaman saya, kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan legitimasi historis atas kekuasaan de facto yang sudah berjalan berabad-abad.

Yang membuat peristiwa ini semakin signifikan adalah bagaimana Qushay tidak bertindak sendiri, tetapi membangun koalisi yang kuat dengan berbagai suku. Dukungan dari Quraisy sebagai suku asalnya, Kinanah sebagai suku induk yang lebih besar, dan Qudha’ah sebagai sekutu strategis menunjukkan kemampuan diplomatik Qushay dalam membangun aliansi. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana perubahan besar memerlukan dukungan yang luas dan terorganisir.

Perang Besar Melawan Khuza’ah dan Bani Bakr

Setelah kemenangan atas para Shufah, Qushay menghadapi tantangan yang lebih besar. Khuza’ah dan Bani Bakr, yang selama ini menguasai Mekkah, menyadari bahwa Qushay akan melarang mereka mengurusi penyelenggaraan haji dan akan menjauhkan mereka dari Ka’bah. Ini bukan sekadar kekhawatiran, tetapi ancaman nyata terhadap kekuasaan dan sumber pendapatan mereka.

Yang saya pahami tentang dinamika politik saat itu, konflik ini tidak bisa dihindari karena menyangkut legitimasi kekuasaan atas tempat paling suci di Jazirah Arab. Khuza’ah dan Bani Bakr keluar dari markas mereka untuk menghadang Qushay. Kedua belah pihak berhadapan dan kemudian bertempur dengan sangat sengit, hingga jatuh banyak korban di kedua belah pihak.

Riwayat menyebutkan bahwa pertempuran ini begitu dahsyat dan berlarut-larut hingga kedua belah pihak menyadari perlunya solusi damai. Mereka sepakat untuk membawa masalah mereka kepada seorang arbitrator yang dihormati kedua belah pihak. Pilihan jatuh pada Ya’mur bin Auf bin Ka’ab bin Amir bin Laits bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah, seorang yang dikenal bijaksana dan adil.

Keputusan Ya’mur bin Auf sangat menguntungkan Qushay. Dia memutuskan bahwa Qushay bin Kilab lebih berhak atas Ka’bah dan pengelolaan Mekkah daripada Khuza’ah. Yang lebih mencengangkan, semua darah Khuza’ah dan Bani Bakr yang ditumpahkan Qushay tidak ada kewajiban ganti rugi, sementara semua darah Quraisy, Kinanah, dan Qudha’ah yang ditumpahkan Khuza’ah dan Bani Bakr harus dibayar ganti rugi. Qushay diberi kebebasan penuh mengurusi Ka’bah dan Mekkah.

Terbentuknya Gelar “Asy-Syaddakh” dan Legitimasi Hukum

Yang menarik dari keputusan arbitrase ini adalah bagaimana Ya’mur bin Auf kemudian diberi gelar “Asy-Syaddakh” karena dia menggugurkan kewajiban membayar ganti rugi darah dan menghapuskannya. Nama ini menjadi gelar kehormatan yang menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan yang adil meski kontroversial.

Dalam pemahaman saya, keputusan ini bukan sekadar menunjukkan kemenangan Qushay, tetapi juga pengakuan hukum internasional Arab terhadap legitimasi klaimnya. Ya’mur bin Auf bukan dari pihak Qushay, namun dia mengakui bahwa secara historis dan genealogis, Qushay memang lebih berhak atas Ka’bah dan Mekkah sebagai keturunan Ismail bin Ibrahim.

Keputusan ini juga mencerminkan sistem hukum Arab yang menghargai legitimasi keturunan dan hak historis di atas kekuasaan de facto yang diperoleh melalui pendudukan. Khuza’ah memang menguasai Mekkah, tetapi mereka tidak memiliki legitimasi genealogis yang kuat seperti yang dimiliki Qushay sebagai keturunan Ismail.

Qushay Menjadi Raja Pertama Quraisy di Mekkah

Setelah kemenangan yang sah secara hukum ini, Qushay bin Kilab berkuasa atas Ka’bah dan Mekkah. Yang pertama dia lakukan adalah memboyong para pengikutnya dari negeri mereka ke Mekkah. Ini adalah kebijakan populasi yang sangat strategis—dia tidak hanya menguasai Mekkah secara politik, tetapi juga mengisi kota suci itu dengan penduduk yang loyal kepadanya.

Qushay menjadi raja bagi kaumnya dan penduduk Mekkah, menjadikannya orang pertama dari Bani Ka’ab bin Luay yang menjadi raja yang ditaati kaumnya. Namun yang membuat saya kagum dari kepemimpinannya adalah bagaimana dia tidak menghapus semua tradisi yang sudah ada. Dia tetap memberi izin pada orang-orang Arab mengerjakan apa yang telah biasa mereka kerjakan, karena menganggapnya sebagai agama yang tidak seharusnya diganti secara total.

Dia mengizinkan keluarga Shafwan, Adwan, An-Nasa’ah, dan Murrah bin Auf mengerjakan apa yang biasa mereka kerjakan dalam pelayanan haji. Ini menunjukkan kebijaksanaan politik yang luar biasa—dia menguasai yang strategis (Ka’bah dan Mekkah) namun tetap menghormati tradisi yang tidak bertentangan dengan kepentingannya. Tradisi-tradisi ini baru dihapus ketika Islam datang dengan ajaran yang lebih sempurna.

Yang paling impresif, Qushay menguasai semua aspek strategis: penjagaan Ka’bah, penguasaan Sumur Zamzam beserta pemberian minum jamaah haji, jamuan makan kepada jamaah haji, Daar An-Nadwah sebagai pusat pemerintahan, dan komando perang Quraisy. Dia memangku seluruh kehormatan Mekkah dan menempatkan setiap kaum dari Quraisy pada posisinya yang tepat.

Syair-Syair Kemenangan dari Para Sekutu

Yang sangat menyentuh dari kisah ini adalah bagaimana para sekutu Qushay mengabadikan kemenangan mereka dalam syair-syair yang indah. Rizah bin Rabi’ah, saudara seibu Qushay, mengutarakan jawabannya terhadap ajakan Qushay dengan syair yang penuh semangat: “Kala seorang utusan Qushay tiba, lalu berkata: penuhilah seruan kekasihmu. Kami berangkat cepat dengan kuda yang berlari cepat, meninggalkan para peragu dan yang merasa berat.”

Syair Rizah melukiskan perjalanan heroik mereka: “Kami berjalan dengan kuda itu di malam hingga pagi menjelang, kami sembunyi di siang hari agar tak terlihat musuh. Kuda-kuda itu demikian kencang laksana jalannya sekawanan burung, mereka semua merespon seruan utusan Qushay.”

Yang membuat saya terharu adalah bagaimana Rizah menggambarkan kekuatan pasukan mereka: “Kami kumpulkan manusia dari dua Gunung Asymadz, dan kami kumpulkan satu orang dari setiap kabilah. Wahai alangkah gagah pasukan kuda itu, lebih seribu berlari kencang dan teratur rapi.”

Tsa’labah bin Abdullah dari Al-Qudhai juga menulis syair yang mengagumkan: “Kami bawakan kuda-kuda yang berlari cepat, berlari cepat dari anak bukit pasir Al-Jinab menuju dua Gua Tihamah. Kami dari Al-Faifa berjumpa di lembah yang runtuh, adapun para Shufah yang banda, tinggalkan rumah-rumah mereka menghindari tebasan pedang.”

Qushay Sebagai “Mujammi’” - Pemersatu Bangsa

Yang paling membanggakan dari pencapaian Qushay adalah bagaimana orang-orang Quraisy menyebutnya sebagai “Mujammi’” (pemersatu) karena dia berhasil menyatukan perpecahan. Mereka merasakan pertanda baik dengan kepemimpinannya, dan ini terlihat dari bagaimana seluruh aspek kehidupan sosial terpusat padanya.

Tidak ada seorang wanita yang dinikahkan, laki-laki dari Quraisy yang menikah, orang-orang Quraisy yang bermusyawarah, atau yang memutuskan perang kecuali di rumah Qushay dan ditangani oleh salah seorang anaknya. Bahkan ritual sederhana seperti gadis yang hendak mengenakan pakaian dewasa harus dilakukan di rumah Qushay terlebih dahulu.

Perintah Qushay kepada kaumnya pada masa hidup dan sepeninggalnya dianggap seperti agama yang harus diikuti dan tidak boleh diganti. Dia memilih Daar An-Nadwah untuk dirinya dan menjadikan pintunya menghadap Ka’bah, menjadikannya pusat pengambilan keputusan bagi seluruh Quraisy.

Ada syair indah yang mengabadikan pencapaiannya: “Demi Allah, Qushay disebut sebagai pemersatu, dengannya Allah menyatukan kabilah-kabilah Fihr.” Yang menarik, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu sebagai khalifah tidak menyangkal atau mengingkari prestasi Qushay ketika ada yang menceritakan kepadanya tentang penyatuan Mekkah, pengusiran Khuza’ah dan Bani Bakr, penguasaan Baitullah, dan kepemimpinannya di Mekkah.

Wasiat Qushay dan Sistem Suksesi

Ketika Qushay sudah semakin renta, dia menghadapi dilema suksesi. Meskipun Abduddar adalah anak sulungnya, Abdu Manaf telah harum namanya sejak ayahnya masih hidup dan memiliki pengaruh sendiri bersama Abdul Uzza dan Abdu. Namun Qushay memutuskan untuk memberikan warisan kepemimpinan kepada Abduddar sebagai anak sulung.

Qushay berkata kepada Abduddar: “Ketahuilah, demi Allah, anakku, aku akan menempatkanmu sebagaimana yang lain di tengah kalian itu, walaupun mereka lebih terhormat darimu. Tidak boleh ada seorang pun dari mereka yang memasuki Ka’bah sampai engkau membukakannya. Orang Quraisy tidak boleh memancangkan bendera perang kecuali di tanganmu.”

Dia juga menyerahkan hak memberi minum jamaah haji, menjamu mereka, dan Daar An-Nadwah sebagai pusat pemerintahan kepada Abduddar. Yang paling mulia, dia melembagakan sistem “rifadah”—kewajiban orang-orang Quraisy memberikan sebagian hartanya untuk menjamu jamaah haji yang tidak mampu.

Qushay berkata kepada kaumnya: “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian tetangga-tetangga Allah, penduduk Rumah-Nya, dan penghuni tanah haram. Sesungguhnya jamaah haji ini adalah tamu-tamu Allah dan penziarah Rumah-Nya. Mereka adalah tamu yang pantas dimuliakan.”

Warisan Abadi untuk Generasi Mendatang

Dari kisah penaklukan Mekkah oleh Qushay ini, hikmah yang bisa kita ambil bersama sangatlah mendalam. Pertama, kita melihat bagaimana Allah mempersiapkan jalan bagi kelahiran Rasulullah SAW melalui penyatuan suku Quraisy dan penguasaan Mekkah oleh leluhurnya. Tanpa pencapaian Qushay, mustahil Rasulullah bisa lahir dalam lingkungan yang kondusif untuk menerima wahyu dan memulai dakwah.

Kedua, kepemimpinan Qushay menunjukkan pentingnya visi jangka panjang dan kemampuan membangun institusi yang berkelanjutan. Sistem yang dia bangun bertahan hingga masa Rasulullah dan bahkan diadopsi oleh Islam dengan penyempurnaan spiritual. Tradisi menjamu jamaah haji yang dia lembagakan masih berlangsung hingga kini.

Ketiga, cara Qushay menyatukan berbagai klan Quraisy yang berserakan menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang inklusif dan sistematis. Dia tidak hanya menguasai Mekkah secara politik, tetapi membangun struktur sosial yang memberikan tempat bagi setiap kelompok.

Keempat, kebijaksanaan Qushay dalam tetap menghormati tradisi yang baik sambil mengkonsolidasi kekuasaan mengajarkan kita tentang seni kepemimpinan yang efektif. Perubahan yang drastis dan tiba-tiba seringkali menimbulkan resistensi, namun perubahan yang gradual dan menghormati nilai-nilai positif yang sudah ada lebih mudah diterima.

Dalam konteks sejarah Islam, sosok Qushay adalah bukti nyata bagaimana Allah mempersiapkan setiap detail untuk kedatangan Rasul-Nya. Penyatuan Quraisy, penguasaan Mekkah, dan sistem kepemimpinan yang mapan menjadi fondasi yang memungkinkan Rasulullah SAW lahir dalam lingkungan yang tepat untuk memulai misi agung penyebaran Islam ke seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani visi, kebijaksanaan, dan dedikasi Qushay dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

NAVIGASI SIRAH

Terkait

Lihat Semua